“RAPAT GELAP” DADAKAN DI WOLUWE, BRUSSELS:
Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (8)
“Neng, di mana kita ini?” tanya saya kepada istri, ketika
terbangun dari tidur selepas melaksanakan shalat Subuh pada Rabu, 4 September
2013. Kami, karena sangat mengantuk, memang melanjutkan “perjalanan tidur” kami
setelah sebelumnya baru memejamkan mata sekitar pukul 02.30 dini hari.
“Lo, bukankah kita di rumahnya Mas Andi Yudha,” jawab
istri. “Kenapa gitu?”
“Kok saya mendengar lagu-lagu Indonesia. Mendengar
lagu-lagu merdu dan syahdu itu kok membuat saya kangen sama Tanah Air.”
“Itu kan lagu-lagunya Iwan Abdurahman. Saya suka dengan
lagu-lagu dia. Mungkin, Mas Andi sudah bangun dan sedang menyetel lagu-lagu
itu. Yuk, kita bangun.”
Segera, saya sadar, kalau kami sedang berada Saint-Pierre,
Woluwe, Brussels, di rumah sahabat akrab kami, Mas Andi Yudha Asfandiyar,
mantan CEO Penerbit Mizan, dan Mbak Sinta Rismayani, Atase Perindustrian
Republik Indonesia untuk Brussels, Luxemburg, dan Uni Eropa. Rumah yang
terletak di kawasan elite di Brussels itu terasa sepi sekali. Saat itu, Mbak
Sinta Rismayani, istri Mas Andi, sedang bertugas di Polandia. Dari sana, Mbak
Sinta akan melanjutkan perjalanannya menuju Rusia. Tugas sebagai seorang atase
perindustrian untuk Uni Eropa membuatnya kerap melakukan perjalanan ke pelbagai
negara di Benua Eropa. Sedangkan semua anak-anak mereka sedang menimba ilmu di
Belanda. Dengan kata lain, saat itu Mas Andi sedang “ngejomblo” alias kesepian
dalam kesendirian, hehehe.
Betapa bahagia kami, bersama Mas Toyibi dan istri, dapat
berkunjung dan mendapatkan kehormatan dapat menginap di kawasan yang dalam
bahasa Belanda disebut
Sint-Pieters-Woluwe itu. Kawasan itu merupakan salah satu dari sembilan semacam
“kecamatan” (tentu saja di Belgia gak ada kecamatan) di ibu kota Belgia,
Brussels. Kawasan elite yang sepi, bersih, tertata bagus, dan terkelola baik. Namun,
kebanyakan para penghuni kawasan itu adalah para pensiunan dan orang-orang yang
berusia lanjut. Apa akibatnya? “Jika musim dingin datang,” tutur Mas Andi
kepada kami sebelum kami beristirahat pada malam ketika kami datang, “saya
selalu was-was jika mendengar bunyi lonceng gereja yang ‘mengumumkan kematian
seseorang’. Di musim dingin, lonceng gereja itu lebih kerap dibunyikan
ketimbang di musim panas seperti saat ini, karena sebagian besar para penghuni
kawasan ini adalah orang-orang yang berusia lanjut. Karena itu, di sini, kita
jarang bertemu dengan anak-anak dan anak-anak muda.” Weleh, gak seperti
di Baleendah, tempat tinggal kami: dari pagi hingga sore ramai dengan
anak-anak.
Usai mandi, kami kemudian berkemas-kemas. Rencananya, kami
berempat baru akan dijemput “Tim Eindhoven” sekitar pukul 12.30 siang, untuk
“menikmati” Kota Brussels. Mereka akan bertemu dan rapat dulu dengan Dubes RI
untuk Belgia, Luxemburg, dan Uni Eropa, Arif Havas Oegroseno. Kami sendiri,
setelah berkemas-kemas, sambil menunggu jemputan empat jam kemudian, lantas
turun ke lantai satu: ruang tamu. Aha, di situ Mas Andi ternyata sedang
menyetel lagu-lagu Indonesia sambil menggambar entah apa. Yang jelas, di
depannya bertebaran kertas-kerta yang penuh gambar-gambar hitam putih. Tidak
lama kemudian, Mas Toyibi dan istri bergabung. Rasanya, kami saat itu berada di
Bandung, bukan di Brussels, hehehe.
Melihat kami berempat sudah “siap tempur”, Mas Andi Yudha
Asfandiyar pun menyilakan kami untuk menikmati breakfast, dengan
hidangan roti-roti ala “londo”, juice, dan teh hangat. Asyik, lezat sekali
roti-roti yang dihidangkan. Seperti halnya ketika kami berkunjung di rumah Mas Aji
Purwanto pada malam sebelum itu, dan kemudian ke rumah Mas Latif Gau di
Eindhoven, ternyata Mas Andi dan keluarga juga tidak memiliki asisten pembantu
rumah tangga. Padahal, sebagai seorang atase, Mbak Sinta (istri Mas Andi) tentunya
dapat jatah asisten rumah tangga. “Kami tidak memerlukan asisten pembantu rumah
tangga kok,” jawab Mas Andi ketika ditanya mengapa di rumahnya sepi dan tanpa
asisten pembantu rumah tangga. “Kami kan hanya berdua. Apalagi saya, atau
istri, kan sering tidak berada di rumah. Apalagi, anak-anak tidak tinggal di
sini.” Budaya yang bagus dan patut
ditiru!
Setelah kami berlima duduk di seputar meja makan, eh “rapat
gelap” yang dimulai di rumah Mas Aji Purwanto pun berlanjut. Jika dalam “rapat
gelap” di rumah direktur perusahaan engineering itu lebih berkisar
tentang bagaimana cara “menaklukkan Eropa”, meski akhirnya menyenggol masalah “Jokowi for
President”, sedangkan “rapat gelap” kami berlima berkisar seputar kreativitas.
Tentu saja, perbincangan pagi itu berkaitan dengan kreativitas untuk anak-anak. Dengan gaya,
mimik, dan gerakan kedua tangannya yang khas, “dedengkot” Sanggar PicuPacu Kreativitas
itu memaparkan pelbagai kegiatannya yang berkaitan dengan pembinaan kreativitas
untuk anak-anak di Indonesia di pelbagai tempat di Tanah Air. Sampai pun
selepas Mas Andi bermukim di Kota Brussels.
Meski “disidang”, hehehe, empat orang, Mas Andi dengan gayanya
yang ekpresif mampu mempertahankan argumentasi-argumentasinya tentang
kreativitas. Malah, ketika Mas Andi menuturkan perilaku seorang penulis yang
terkenal dengan gaya nyelenehnya, PB, sebagai contoh salah satu bentuk
kreativitas, Mas Toyibi sampai tertawa terbahak-bahak. Padahal, biasanya,
dokter spesialis senior yang satu ini selalu tampil serius. Saya yakin, Mas
Andi tahu, dirinya “disidang” karena ilmu dan pengalamannya tentang kreativitas
untuk anak-anak sedang “dioperasi dan disedot”. Dan, Mas Andi pun tahu, kian
banyak ilmu dan pengalamannya dia berikan, kian banyak pula ilmu dan
pengalamannya yang dianugrahkan kepadanya. Bukan begitu, Mas Andi.
Tidak terasa, “rapat gelap” itu berlangsung hingga
sekitar pukul 10.30. Ketika “rapat gelap” itu menjelang ditutup, “kera ngalam”
yang lulusan Jurusan Desain Grafis, Institut Teknologi Bandung itu kemudian
menuturkan, jika saat ini dia sedang “didaulat” menjadi Ketua Pelaksana
pembangunan sebuah masjid yang diharapkan mampu menampung sekitar 1,000 jamaah
di Kota Brussels. Alhamdulillah. Masjid tersebut, menurut pengurus Keluarga
Pengajian Muslimin Indonesia yang satu ini, selain diharapkan dapat menjadi
tempat ibadah untuk kaum Muslim dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan
Brunei, juga diharapkan mampu menjadi tempat yang menjadi rahmat bagi semua
orang. Tidak hanya bagi kaum Muslim saja, tapi juga bagi kaum non-Muslim. Dengan
kata lain, setiap Muslim yang hadir di masjid itu merasa nyaman, krasan, dan
membuat “orang-orang lain” pun merasa nyaman dan hormat dengan kehadiran mereka
dan masjid itu. “Dana yang diperlukan sekitar 250,000,- euro,” tutur Mas Andi.
“Saat ini, dana yang terkumpul baru sekitar 70,000,- euro.” Nah, jika Anda
ingin ikut membangun “sebuah gedung indah dalam surga”, silakan kontak Mas Andi
selaku Ketua Pelaksana pembangunan masjid di Brussels itu. Paling tidak, dengan
doa, kiranya masjid yang menjadi rahmatan lil ‘alamin itu segera terealisasi,
amin.
Ketika “rapat gelap” itu diakhiri, Mas Andi Yudha
Asfandiyar kemudian bercerita, salah satu ilmu dan pengalaman yang dia dapatkan
di Brussels adalah teknik melukis sekali gores tanpa henti. Salah satu
karyanya, dengan teknik sekali gores tanpa henti, adalah karya lukisnya yang
dia taruh di depan meja kerjanya. “Mas Andi ini orang hebat,” gumam saya dalam
hati ketika melihat Mas Andi sedang mempraktikkan cara dia melukis sekali gores.
“Selain bisa melukis, dia juga piawai mendongeng dan menjadi motivator ulung
dalam menanamkan dalam kalangan orang tua tentang pentingnya kreativitas untuk anak-anak. Kiranya Allah
Swt. senantiasa melimpahkan kepadanya kesehatan dan kemampuan dalam
merealisasikan cita-citanya, amin.”
Usai berbincang dan bertukar pikiran dengan Mas Andi
Yudha Asfandiyar, kami berempat kemudian berjalan-jalan di seputar kompleks
tempat kediaman Mas Andi dan keluarga, Saint Pierre-Woluwe. Saat itu, di
kompleks yang “dihiasi” dengan sebuah gereja yang disebut “Eglise Sainte-Alix”,
atau dalam bahasa Belanda disebut “Sint-Aleidiskerk”, itu sedang ada pasar
kaget. Ternyata, di Brussels pun juga ada pasar kaget. Yang menarik, baik di
pasar itu, maupun di seputar kompleks yang kami datangi, tidak banyak anak-anak
muda. Apalagi anak-anak kecil yang berlari-lari ke sana ke mari. Kayaknya,
Benua Eropa saat ini sedang defisit anak-anak kecil, hehehe.
Kemudian, sekitar pukul 12.30 waktu Brussels, satu mobil
Audi Q7 dan satu mobil Toyota Highlander Hybrid datang ke rumah Mas Andi.
Ternyata, Mas Adi Purwanto dan Mas Latif Gau yang datang. Mereka meminta kami
berlima supaya segera bersiap menuju Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di
Brussels, untuk menikmati makan siang bersama Bapak Dubes. Menerima kehormatan
demikian, saya pun berkata kepada Mas Latif Gau, “Bagi saya, ini merupakan
kramat gandul.”
“Apa itu kramat gandul?” tanya Mas Latif, yang sejak muda
usia sudah bermukim di Belanda, kebingungan.
“Istilah ‘kramat gandul’ itu semula berkembang dalam
kalangan pesantren saja. Mas Latif tentu tahu, ketika seorang kiai mendapatkan undangan,
misalnya, biasanya dia didampingi seorang atau beberapa orang santrinya. Lantas,
ketika mereka tiba di tempat perhelatan, tentu yang mendapatkan sajian lezat
kan tidak hanya sang kiai saja, tapi juga santri atau para santrinya. Mas Latif
tentu faham, andaikan si santri atau para santri itu tidak bersama kiai mereka,
tentu mereka tidak akan kehormatan yang sama. Iya kan. Nah, dalam kasus ini,
saya dapat kramat gandul dari ‘Tim Eindhoven’. Tanpa kehadiran ‘Tim Eindhoven’,
tentu saya tidak akan mendapatkan undangan untuk makan siang bersama Bapak
Dubes, hehehe.”
“Hahahaha, Pak Rofi’ bisa saja.”
Tidak lama kemudian, kami pun tiba di gedung KBRI
Brussels dan kemudian menikmati makan siang di sebuah restoran di samping kanan
gedung KBRI tersebut. Terima kasih Bapak Arif Havas Oegroseno, atas kehormatan
yang diberikan kepada kami. (Bersambung: “MANNEKEN PIS PUN PERNAH MENGENAKAN
BLANGKON DAN SURJAN: Perjalanan Santri Ndeso ke Belanda-Belgia (9). Kisah kluyuran
ke pusat kota Brussels).
No comments:
Post a Comment