Sunday, August 28, 2011
Munajat Akhir Ramadhan
“Ya Allah, doa apakah yang selayaknya kupanjatkan kepada-Mu di akhir bulan-Mu yang mulia ini? Sebelum ini, setiap siang dan malam, pelbagai doa telah kumohonkan kepada-Mu, sesuai dengan perintah-Mu, ‘Berdoalah kalian, niscaya akan Aku penuhi doa kalian.' Walau sejatinya Engkau sejak awal telah tahu dan tetapkan segala sesuatu yang paling tepat dan layak untuk setiap hamba-Mu,” gumam penulis tadi, di dini hari di rumah yang sangat sunyi. Sendiri.
Entah kenapa, dalam kesunyian yang benar-benar sangat sunyi tersebut, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” ke Madinah. Kali ini, entah kenapa pula, yang membara dalam benak adalah sosok seorang sahabat yang santun dan berperilaku sangat lurus: Abu Bakar Al-Shiddiq. Lembaran sejarah Islam menorehkan, khalifah pertama dalam sejarah Islam (berkuasa antara 11-13 H/632-634 M) ini bernama lengkap ‘Abdullah ibn Abu Quhafah ‘Utsman ibn ‘Amir ibn ‘Umar ibn Ka‘b ibn Sa‘d ibn Taim ibn Murrah ibn Ka‘b ibn Lu’ayyi ibn Thalib ibn Fihr ibn Nadr ibn Malik at-Taimi al-Qurasyi, dengan nama ‘Abdul Ka‘bah. Sedangkan ibundanya, Ummu Khair Salma ibnti Sakhr, seorang wanita dari suku Quraisy. Ia lahir dua tahun setelah Tahun Gajah. Dengan kata lain, ia lebih muda dua tahun dari Rasul Saw., yakni lahir pada 573 M.
Khalifah yang berasal dari Bani Tamim ini telah menjadi sahabat karib Rasul Saw. sebelum beliau menjadi Nabi. Malah, beliaulah yang mengubah namanya menjadi bernama ‘Abdullah. Kemudian, ketika beliau diutus sebagai nabi, pedagang yang berbudi dan hidup berkecukupan ini menjadi pria dewasa pertama yang mengakui kedudukan beliau sebagai nabi. Keislamannya mendorong sejumlah tokoh Quraisy mengikuti jejak langkahnya. Di antara mereka adalah ‘Utsman ibn ‘Affan, Al-Zubair ibn Al-‘Awwam, Sa‘d ibn Abu Waqqash, dan ‘Abddurrahman ibn ‘Auf.
Ketika Rasul Saw. meninggalkan Makkah, pada malam hari 12 Rabi‘ Al-Awwal tahun pertama Hijrah yang bertepatan dengan 28 Juni 622 M, dan berhijrah ke Madinah, Abu Bakar dipilih beliau untuk menyertai beliau. Kemudian, ketika Rasul Saw. wafat, ia diangkat sebagai khalifah. Jabatan itu ia duduki melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Rasulullah saw wafat dan sebelum jenazah beliau dimakamkan. Itulah antara lain yang menyulut kemarahan keluarga Nabi Muhammad saw, khususnya Fathimah Al-Zahra’: mengapa mereka demikian terburu-buru mengambil keputusan tentang pengganti Rasul Saw. sebelum pemakaman dan tidak mengikutsertakan keluarga dekat beliau. Tetapi, penyelenggaraan pertemuan di Tsaqifah Bani Sa‘idah tersebut sejatinya tidak direncanakan terlebih dahulu. Sebaliknya, pertemuan itu berlangsung karena terdorong keadaan yang sangat genting.
Selepas Rasul Saw. dimakamkan di rumah ‘A’isyah, pada Selasa petang, menjelang shalat ‘Isya’ di Masjid Nabawi, Abu Bakar Al-Shiddiq mengucapkan pidato kekhalifahannya yang pertama di hadapan kaum Muhajirun dan kaum Anshar yang membentuk tiang agung kekuatan Islam kala itu. Dan, selama Abu Bakr menduduki jabatan khalifah, Islam kian mengepakkan sayapnya. Agama ini pun mulai memasuki kawasan yang berada di bawah kekuasaan Imperium Romawi dan Persia. Namun, karena masa pemerintahannya yang pendek, perluasan ke arah kedua kawasan itu baru benar-benar terpancang kuat pada masa pemerintahan ‘Umar ibn Al-Khaththab.
Tokoh yang mendapat gelar “Al-Shiddiq”, karena membenarkan perjalanan Isra’ dan Mi‘raj yang dilakukan Rasul Saw., berpulang pada Senin, 22 Jumadil Akhir 13 H/22 Agustus 634 M, dengan meninggalkan enam putra-putri: ‘Abdullah (meninggal dunia pada tahun pertama kekhilafahan sang ayah), Asma’ (istri Al-Zubair ibn Al-‘Awwam), ‘Abdurrahman, ‘A’isyah (istri Rasul Saw.), Muhammad (gubernur Mesir pada masa pemerintahan ‘Ali ibn Abu Thalib), dan Ummu Kaltsum (lahir selepas Abu Bakar berpulang).
Nah, menjelang Abu Bakar Al-Shiddiq berpulang, sejumlah sahabat mendatangi sang khalifah yang kala itu sedang sakit. Selepas berbagi sapa sejenak dengan mertua tercinta Rasul Saw. itu, mereka kemudian berucap kepadanya, “Wahai khalifah Rasulullah saw. Bekalilah kami. Sesungguhnya kami melihat kemuliaan ada pada dirimu.”
“Wahai saudara-saudaraku,” jawab Abu Bakar Al-Shiddiq seraya menahan sakit. “Perlu kalian ketahui, barang siapa mengucapkan doa berikut dan kemudian ia mati, ruhnya akan berada di ufuk yang nyata.”
“Apakah ufuk yang nyata itu?” tanya mereka penuh rasa ingin tahu dan penasaran.
“Kawasan nyaman lagi menawan di depan ’Arsy. Di situ terdapat taman-taman Allah, sungai-sungai, dan pohon-pohon yang setiap hari dilimpahi seratus rahmat. Barang siapa mengucapkan doa berikut yang termaktub dalam kandungan pelbagai ayat-ayat Al-Quran ini, Allah Swt. akan menjadikan ruhnya di tempat itu:
“Ya Allah, sungguh, Engkaulah yang memulai penciptaan tan¬pa keperluan bagi-Mu kepada mereka. Kemudian, Engkau ciptakan mereka menjadi dua kelompok, satu kelompok untuk surga dan satu kelompok untuk neraka. Karena itu, jadikanlah aku untuk surga dan janganlah Engkau jadikan aku untuk neraka.
Ya Allah, sungguh, Engkau ciptakan makhluk menjadi beberapa kelompok dan Engkau pilah-pilah mereka sebelum Engkau menciptakan mereka. Lalu, Engkau jadikan di antara mereka orang yang celaka, orang yang bahagia, orang yang sesat, dan orang yang memeroleh petunjuk. Karena itu, ya Allah, janganlah Engkau celakakan aku dengan pelbagai perbuatan maksiat kepada-Mu. Sungguh, Engkau mengetahui segala sesuatu yang di¬lakukan setiap jiwa sebelum Engkau menciptakannya. Karena tiada tempat lari dari segala sesuatu yang Engkau ketahui, jadikanlah aku termasuk orang yang Engkau tetapkan sebagai orang senantiasa taat kepada-Mu.
Ya Allah, sungguh, tiada seorang pun menghendaki sesuatu hingga Engkau kehendaki. Karena itu, sesuai dengan kehendak-Mu, jadikanlah aku menghendaki segala sesuatu yang dapat mendekatkan diriku kepada-Mu. Sung¬guh, Engkaulah yang menentukan setiap gerak hamba-hamba-Mu. Sehingga, tidaklah bergerak sesuatu pun kecuali dengan izin-Mu. Karena itu, jadikanlah segala ¬gerakku dalam takwa kepada-Mu.
Ya Allah, sungguh, Engkaulah yang menciptakan kebaikan dan kejelekan. Juga, Engkau jadikan bagi masing-masing dari keduanya orang-orang yang melakukannya. Karena itu, jadikanlah aku termasuk yang terbaik di antara dua bagian itu.
Ya Allah, sungguh, Engkau telah menciptakan surga dan neraka. Juga, Engkau jadikan penghuninya bagi masing-masing dari keduanya. Karena itu, jadikanlah aku termasuk penghuni surga-Mu, ya Allah! Sungguh¬, manakala Engkau menghendaki suatu kaum menuju kesesatan, maka Engkau sempitkan dada mereka karenanya. Karena itu, ya Allah, bukalah dadaku untuk menerima iman dan hiaskanlah iman dalam kalbuku.
Ya Allah, sungguh, Engkau mengatur segala sesuatu dan menjadikan tempat kembali mereka kepada-Mu. Karena itu, hidupkanlah aku selepas mati dengan kehidupan yang baik dan dekatkanlah aku kepada-Mu sedekat-dekatnya. Dan, walau ada orang-orang yang kala pagi maupun senja hari kepercayaannya dan ha¬rapannya adalah kepada selain Engkau, namun Engkaulah kepercayaan dan harapanku. Tiada daya dan upaya selain dengan pertolongan-Mu, Amin.”
Teringat doa Abu Bakar Al-Shiddiq tersebut, penulis menjadikan doa tersebut sebagai munajat di dini hari tadi. Kiranya Allah Swt. menerima doa yang indah tersebut, Amin ya Mujib Al-Sa’ilin.
Dan, sebagai penutup tulisan di bulan Ramadhan ini, sebagai manusia yang tidak luput dari kekurangan, kesalahan, kekhilafan, kealpaan, dan tindakan, sikap, dan ungkapan kata yang tidak menyenangkan dan menyakitkan, penulis memohon maaf sebesar-besarnya dan “Allahumma Taqqabbal Shiyamana wa Ij‘alna min al-‘Aidin wa al-Faizin wa al-Maqbulin, Kullu Sanah wa Antum bi Khair, Selamat Id Mubarak”. (arofiusmani.blogspot.com/)
Saturday, August 27, 2011
Dicari: Orang yang Memiliki Sikap Berbeda
Tadi malam, selepas melaksanakan shalat tarawih, entah kenapa tiba-tiba dalam benak penulis membara hasrat untuk menulis. Tetapi, sayangnya, walau tangan masih cekatan “menari”, kedua mata penulis ternyata enggan diajak “menari” bersama. Karena itu, segera laptop pun penulis matikan. Nah, begitu laptop mati, ternyata ganti kedua mata itu yang begitu bersemangat “menari-nari” di antara deretan buku yang ada di rak buku. Selepas beberapa lama “menari-nari” di antara deretan buku, entah kenapa kedua mata itu tiba-tiba berhenti bergerak dan kemudian menatap tajam ke sebuah buku dengan judul Nasihat Al-Muluk, Nasihat kepada Raja-raja. Buku itu merupakan hasil goresan tangan seorang ulama, pemikir, dan sufi kondang di Masa Pertengahan, Abu Hamid Al-Ghazali.
Segera, benak penulis pun “melayang-layang”. Segera pula penulis teringat, buku itu merupakan hadiah dari seorang sahabat, seorang dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta dan kandidat doktor di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Buku yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia tersebut, menurut Dr. Jelani Harun dalam kata pengantar karya itu, masuk dalam genre “Mirror for Princess”. Lebih jauh Dr. Jelani Harun menyatakan, dari sisi sejarah genre “Mirrors for Princes” telah lama hadir dalam tradisi keilmuan Islam. Antara lain lewat karya seperti Kitâb Al-Sulthân, oleh Ibn Qutaibah, Kitâb Al-Tâj, oleh Al-Jahizh, dan beberapa karya lain.
Sementara menurut C.E. Bosworth, dalam tulisannya “An Early Arabic Mirrors of Princess: Tahir Dhul-Yaminain’s Epistle to His Son Abdallah (206 H/821 M)”, penulisan genre “Mirrors for Princes” dalam kesusastraan Arab telah bermula semenjak awal tahun 205 H/820 M, melalui karya Kitâb Al-Baghdâd oleh Ibn Thaifur. Pada 516 H/1122 M, karya “Mirrors for Princess” dalam tradisi Arab terus berkembang dengan kelahiran Sirâj Al-Mulûk oleh Al-Turthusi. Perkembangan genre “Mirrors for Princess” mencapai puncaknya sekitar abad ke-10 dan ke-11 M, melalui tiga karya Persia yang cukup terkenal, yaitu Siyasatnama/Siyâr Al-Mulûk (409-485 H/1018-1092 M) oleh Nizham Al-Muluk, Qabusnama (475 H/1082 M) oleh Kay Kaus bin Iskandar, dan Nasîhâh Al-Mulûk oleh Al-Ghazali (450-504 H/1058-1111 M).
Nah, berikut adalah salah satu contoh genre “Mirror for Princess” tersebut:
Resah dan gelisah, itulah kondisi batin Harun Al-Rasyid tidak lama selepas menjabat khalifah, atau orang nomor satu, Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Kala itu, selama berhari-hari, betapa ia senantiasa resah karena satu masalah yang mengganjal dalam hatinya: seorang ulama terkemuka dan mulia yang ia segani tidak kunjung menyampaikan ucapan selamat kepadanya, seperti halnya ulama-ulama yang lain. Alih-alih datang ke istananya. Padahal, sebelum menjabat khalifah, ia sangat akrab dan dekat dengan ulama yang satu itu. Tapi, kini, selepas ia menjadi penguasa, ulama yang bermukim di Kufah itu hilang seakan ditelan bumi dan tidak pernah bertandang kepadanya lagi. Ulama itu tidak lain adalah Sufyan Al-Tsauri.
Ulama yang sangat disegani Harun Al-Rasyid itu adalah seorang tabi‘in yang ahli hukum Islam dan sufi terkemuka pada abad ke-2 H/8 M. Lahir di Kufah pada 97 H/715 M, ia bernama lengkap Abu ‘Abdullah Sufyan bin Sa‘id bin Al-Mundzir Al-Tsauri Al-Kufi. Sesuai dengan tradisi yang berkembang kala itu, ia mula-mula menimba ilmu kepada ayahandanya. Usai mendapat “pembinaan” dari sang ayahanda, tokoh yang pernah menyatakan bahwa “barang siapa kikir dengan ilmu yang dimilikinya, sejatinya ia mengharapkan tiga petaka: lupa akan ilmunya, mati tanpa sempat memanfaatkan ilmunya, atau kehilangan buku-bukunya” ini lantas memperdalam ilmu kepada sejumlah ulama, antara lain kepada Al-Hasan Al-Bashri. Usai memperdalam ilmu kepada sejumlah ulama, namanya segera mencuat sebagai ahli hukum Islam yang berwawasan luas dan mandiri. Tidak aneh bila di bidang ini, nama ahli hukum yang menopang penghidupannya dengan berdagang ini dapat disejajarkan dengan para mujtahid terkemuka. Namun, ia tidak hanya seorang pakar di bidang hukum Islam semata. Ia juga terkenal sebagai seorang pakar hadis yang menuturkan banyak hadis. Tidak aneh, karena kepakarannya di bidang terakhir ini, ulama yang sangat berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah ini mendapat julukan “Amir Al-Mu’minin” di bidang hadis.
Atas saran pelbagai pihak, Harun Al-Rasyid akhirnya menulis sepucuk surat kepada Sufyan Al-Tsauri:
Bismillâhirrahmanirrahim.
Dari hamba Allah, Harun Al-Rasyid, Amir Al-Mukminin, kepada saudaranya, Sufyan bin Sa‘id bin Al-Mundzir Al-Tsauri.
Wahai saudaraku! Engkau tentu tahu, Allah Swt. telah mempersaudarakan di antara orang-orang beriman. Dia menjadikan hal yang demikian itu di jalan-Nya dan karena-Nya. Perlu engkau ketahui, aku telah mempersaudarkan diriku denganmu dengan tali persaudaran yang tidak akan kuputuskan selamanya dan kasih sayang yang timbul darinya tidak akan kupotong apa pun halnya. Kesenanganku berkumpul denganmu lebih tinggi daripada kesenangan dan keinginan terbaik. Andai tiada belenggu (jabatan) ini, yang dibebankan Allah Swt., tentu akan kudatangi tempatmu, karena rasa cinta yang terpancang kuat dalam hatiku kepadamu. Walau dengan merangkak sekali pun.
Wahai Abu ‘Abdullah! Ketahuilah, tiada seorang pun di antara teman-temanku dan teman-temanmu yang belum bertandang kepadaku untuk mengucapkan selamat kepadaku, karena jabatan yang kini kupangku. Aku telah membuka sejumlah bait al-mâl. Aku pun telah memberikan pelbagai hadiah kepada mereka. Semua itu begitu menggembirakan hatiku dan menyedapkan mataku. Sungguh, aku menanti kedatanganmu yang amat terlambat. Tapi, hingga pun kini, ternyata engkau tidak kunjung bertandang juga. Karena itu, kutulis surat ini kepadamu. Hatiku begitu rindu kepadamu.
Wahai Abu ‘Abdullah! Engkau tentu tahu ajaran agama perihal keutamaan orang beriman, kunjungannya, dan silaturahmi. Karena itu, manakala surat ini telah sampai kepadamu, segeralah bertandang kepadaku.
Wassalâmu ‘alaikum wa Rahmatullâh wa Barakâtuh.
Ketika menerima surat itu, dan mengetahui isinya, Sufyan Al-Tsauri, yang tidak mau menyentuh sama sekali surat itu, lantas berucap kepada orang yang membacakan surat itu, “Baliklah surat itu! Tulis jawabannya kepada orang zalim itu di baliknya!”
“Wahai Abu ‘Abdullah,” ucap seseorang yang hadir kala itu mencoba meredakan rasa tidak senang Sufyan Al-Tsauri kepada Harun Al-Rasyid selepas menjadi khalifah. “Ia seorang khalifah, lo. Bagaimana kalau jawaban itu ditulis di selembar kertas bersih yang belum ada tulisannya?”
“Tulislah jawaban kepada orang zalim itu di balik surat itu!” sahut ulama yang berpulang ke hadirat Allah di Makkah pada 161 H/778 M itu dengan suara melengking. “Bila kertas itu didapatkan dari harta halal, tentu amalnya akan dibalas Allah Swt. Sedangkan bila kertas itu didapatkannya dari harta haram, tentu ia akan dimasukkan ke dalam neraka. Dan, tiada sesuatu pun yang disentuh orang zalim dan diserahkan kepada kita melainkan akan merusakkan agama kita!”
“Apakah yang kami tulis?”
Sufyan Al-Tsauri lantas mendiktekan sebagai berikut:
Bismillâhirrahmanirrahîm.
Dari hamba Allah yang berdosa, Sufyan bin Sa‘id bin Al-Mundzir Al-Tsauri, kepada seorang hamba Allah yang banyak berangan-angan dan mencabut manisnya iman seseorang, Harun Al-Rasyid.
Ammâ ba‘d. Sungguh, lewat tulisan ini kuberitahukan kepadamu, sejatinya silaturahmi denganmu telah kuputuskan. Juga, kecintaan kepadamu telah kupotong. Aku sangat tidak suka terhadap jabatan yang kini kaupangku. Engkau pun telah menjadikan aku sebagai saksi atas dirimu, dengan pengakuanmu atas dirimu dalam suratmu, dengan seranganmu terhadap bait al-mâl kaum Muslim. Engkau telah membelanjakannya di jalur yang bukan yang semestinya dan telah menghabiskannya untuk hal-hal yang tidak selaras dengan ketentuannya. Kemudian, engkau merasa tidak senang dengan yang kulakukan, sedangkan engkau jauh dariku, hingga engkau torehkan surat kepadaku. Engkau jadikan aku saksi atas dirimu. Sungguh, aku telah bersaksi atas dirimu dan teman-temanku yang menyaksikan pembacaan suratmu. Kesaksian itu akan kami tunaikan atas dirimu. Kelak di hadapan Allah Swt.
Wahai Harun! Engkau telah menyerang bait al-mâl kaum Muslim tanpa kerelaan mereka. Akan relakah, akibat tindakanmu itu, para muallaf, para pejuang di jalan Allah, dan para musafir? Akan relakah, akibat tindakanmu itu, para pendukung Al-Quran, para ulama, perempuan-perempuan janda, dan anak-anak yatim? Akan relakah, akibat tindakanmu itu, khalayak ramai dari kalangan rakyatmu? Karena itu, wahai Harun, ikatlah kainmu! Sediakanlah jawaban untuk setiap pertanyaan.
Wahai Harun! Ketahuilah, engkau akan berdiri di hadapan Hakim Yang Mahaadil. Sungguh, engkau telah menanam bahaya terhadap dirimu sendiri. Ini, karena engkau telah meniadakan manisnya ilmu, kezahidan, kelezatan Al-Quran, dan pergaulan dengan orang-orang pilihan. Engkau relakan dirimu sendiri menjadi orang zalim dan panutan orang-orang zalim.
Wahai Harun! Kini, engkau duduk di atas kursi kebesaran. Engkau kenakan kain sutra. Engkau pasang tirai di pintumu. Engkau serupakan dirimu dengan Tuhan semesta alam dengan penjaga-penjaga yang mengawalmu. Kemudian, engkau tempatkan tentara-tentaramu yang zalim di pintu dan tiraimu. Walau mereka acap berbuat kezaliman kepada khalayak ramai, tapi mereka tidak kunjung insaf. Mereka memukul orang-orang yang menenggak minuman keras, padahal mereka sendiri juga menenggak minuman itu. Mereka menghukum orang yang berzina, padahal mereka sendiri juga para pezina. Mereka memotong tangan orang yang mencuri, padahal merela sendiri juga para pencuri. Apakah hukuman-hukuman itu tidak lebih layak ditimpakan atas dirimu dan diri mereka, sebelum engkau menghukum orang lain?
Wahai Harun! Karena itu, bagaimanakah engkau kelak, manakala dipanggil di hadapan Allah Swt, “Kumpulkanlah orang-orang zalim dan istri mereka! Manakah orang-orang zalim itu dan para penolongnya?” Lantas, pemanggil itu membawa dirimu di hadapan Allah Swt., sedangkan kedua tanganmu dibelenggu di lehermu. Tiada yang kuasa melepaskan belenggu itu selain keadilan dan keinsafanmu. Orang-orang zalim itu sendiri berada di seputarmu. Engkaulah yang mendahului mereka dan menjadi panutan mereka menuju neraka.
Wahai Harun! Seakan antara aku denganmu telah engkau tempatkan pencekik leher dan pelbagai halangan. Engkau lihat kebaikanmu dalam timbangan orang lain dan keburukanmu dalam timbanganmu. Karena itu, perhatikanlah pesanku ini. Ambillah pelajaran dari arahan yang kukemukakan kepadamu.
Ketahuilah, aku telah menasihati engkau dan tiada yang tersisa untuk tidak kukemukakan kepadamu. Takutlah kepada Allah, wahai Harun, dalam kaitannya dengan rakyatmu. Jagalah Muhammad Saw. dalam kaitannya dengan umatnya. Dan, baguskanlah kekhalifahan atas diri mereka.
Ketahuilah pula, manakala tugas ini ditetapkan atas diri orang lain, tentu tugas itu tidak akan sampai kepadamu dan menjadi hak orang lain. Ini bagaikan dunia yang penghuninya berpindah, satu demi satu. Di antara mereka ada yang mencari perbekalan yang bermanfaat. Tapi, ada juga yang merugi, baik di dunia maupun akhirat. Menurutku, wahai Harun, engkau termasuk yang merugi. Baik di dunia maupun akhirat. Karena itu, jagalah dirimu. Juga, jagalah dirimu agar tidak menulis surat lagi kepadaku selepas ini, karena tidak akan kujawab nanti.
Wassâlamu‘alaikum wa Rahmatullâh wa Barakâtuh.
Ketika surat itu diserahkan kepada Harun Al-Rasyid, penguasa itu segera membacanya penuh perhatian. Begitu membaca jawaban Sufyan Al-Tsauri itu, Al-Rasyid pun tidak kuasa menahan lelehan air matanya dan berkali-kali menarik napas panjang. Melihat hal itu, seorang pejabat yang hadir kala itu berucap kepadanya, “Wahai Amir Al-Mukminin! Betapa lancang Sufyan Al-Tsauri! Mungkin lebih baik engkau perintahkan agar ia menghadap kepadamu di sini. Lantas, setibanya di sini, belenggu dan jebloskan ia ke dalam bui yang sangat sempit. Biar menjadi pelajaran bagi orang-orang lain.”
“Tinggalkan aku, hai budak-budak dunia yang gemar memerdayakan orang lain!” hardik Harun Al-Rasyid. “Kasihan sekali orang-orang yang telah kalian binasakan! Sungguh, Sufyan adalah satu-satunya orang yang memiliki sikap berbeda. Biarkan dia dengan sikap dan tindakannya yang demikian itu!”
Surat itu kemudian senantiasa dibawa Harun Al-Rasyid dan dibacanya setiap kali usai melaksanakan shalat hingga ia berpulang. (arofiusmani.blogspot.com/)
Friday, August 26, 2011
Lo, Imam Al-Syafi'i Tidak Shalat Tahajjud?
“Alhamdulillah, buku-buku yang Anda kirimkan kepada saya telah sampai.” Demikian pesan penulis kemarin kepada seorang sahabat, seorang mahasiswa asal Cirebon yang sedang mengikuti program pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dan sedang pulang ke Indonesia. Dua buku itu adalah dua buku menarik yang disusun dua ulama dan pemikir kondang dari Negeri Piramid: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dan Dr. Muhammad ‘Imarah. Dua ulama terkemuka itu memang terkenal sebagai pemikir-pemikir yang disegani di Dunia Islam. Buku pertama tentang “Lagu dan Musik Menurut Al-Quran dan Sunnah”. Sedangkan buku kedua tentang “Al-Bukhari dan Muslim, Dua Tokoh Hadits”.
Melihat dua karya penting tersebut, malam harinya penulis pun segera terasyikkan dalam menyimak dan mencermati kedua karya itu. Menyimak kedua karya itu, penulis kian tersadarkan, betapa Hukum Islam demikian luas. Dan, hukum itu tidak dapat dimengerti dan difahami dengan baik bila kita menggunakan “pandangan mata kuda”: pandangan picik yang melihat hukum itu dari aspek yang sempit. Mengenai lagu dan musik saja, hingga dikaji Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam 255 halaman, ternyata pembahasan para ulama dan pakar demikian mendalam dan luas. Dan, ternyata pula, para ulama dan pakar Hukum Islam telah semenjak lama telah membahas persoalan lagu dan musik.
Entah kenapa, ketika sedang asyik “menikmati” dua karya tersebut, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang”, teringat kisah memikat tentang dua raksasa di bidang Hukum Islam: Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Al-Syafi’i. Juga, pendekatan mereka dalam memahami dan memaknai kehidupan sehari-hari menurut ajaran Islam. Berikut kisahnya:
Betapa gembira hati putri Ahmad bin Hanbal hari itu. Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis, hukum Islam, dan ilmu kalam yang juga salah seorang tokoh dari empat imam mazhab fikih. Bernama lengkap Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Al-Syaibani Al-Bashri, ia lahir di Baghdad pada Rabi‘ Al-Akhir 164 H/Desember 780 M. Lantas, ketika masih menyusu, ia dibawa ibundanya pindah ke Baghdad. Tokoh yang telah hapal Al-Quran sejak dini ini gemar merantau untuk memperluas wawasan keilmuannya. Di antara gurunya kala itu adalah Abu Yusuf, sejawat dan murid Abu Hanifah Al-Nu‘man. Guru-gurunya yang lain, antara lain, adalah Hasyim bin Basyir. Ia menjadi murid Hasyim bin Basyir hingga sang guru berpulang ke hadirat Allah Swt. pada 183 H/799 M. Selepas itu, ia belajar di bawah bimbingan Abu Yusuf. Bertolak dari Baghdad, pada 186 H/802 M, Ahmad muda lantas menapakkan kakinya menuju Bashrah. Dari sana, ia lalu menuju Kufah. Selanjutnya ia menuju Makkah dan kemudian ke San‘a, Yaman.
Tak aneh bila Imam yang satu ini memiliki sederet guru, antara lain ‘Abdullah bin Al-‘Abbas, Sufyan bin ‘Uyainah, Yahya bin Sa‘id Al-Qaththan, Yazid bin Harun, Abu Dawud Al-Thayalisi, Waki‘ bin Al-Jarrah, Al-Hasan bin Ziyad, ‘Abdurrazzaq Al-Shan‘ani, dan Ibn Hammam. Selain itu, ia juga sempat bertemu dengan dan menimba ilmu dari Al-Syafi‘i, pengasas Mazhab Syafi‘i, di Makkah dan Baghdad. Dan, sejak 204 H/817 M, ia menetap di Baghdad sampai berpulang ke hadirat Allah pada Jumat, 12 Rabi‘ Al-Awwal 241 H/31 Juli 855 M. Di kota itu pula ia meniti kehidupannya untuk menebarkan ilmu, terutama ilmu hadis. Karena keluasan ilmunya, ia segera berhasil memikat banyak murid, antara lain para ahli terkemuka seperti Al-Bukhari, Muslim bin Al-Hajjaj, dan Abu Dawud Al-Sijistani.
Kegembiraan putri ulama yang kala berpulang meninggalkan sederet karya tulis, antara lain Al-Musnad, yang menghimpun sekitar tiga puluh ribu hadis, Al-Nâsikh wa Al-Mansûkh, ‘Ilal Al-Hadîts wa Ma‘rifah Al-Rijâl, Al-Radd ‘ala Al-Jahmiyyah wa Al-Zanâdiqah, Fadhâ’il Al-Shahâbah, Kitâb Al-Shalâh wa Mâ Yalzam Fîhâ, Kitâb Al-Sunnah, dan Kitâb Al-Zuhd itu dipicu oleh kabar gembira dari sang ayahanda yang akan menerima kunjungan seorang guru yang acap ia bincangkan bersama sang putri. Sang putri tahu, ayahandanya acap menyanjung gurunya yang lahir di Gazza, Palestina itu, karena keluasan ilmu dan wawasannya. Karena itu, ia ingin tahu bagaimanakah sejatinya akhlak dan perilaku tokoh yang pernah menyatakan bahwa “perhiasan yang paling indah yang dikenakan ulama adalah kedamaian hati (qanâ‘ah), kepapaan, dan ridha” itu.
Benar saja, Al-Syafi‘i tak lama selepas itu datang berkunjung ke rumah Ahmad bin Hanbal. Kemudian, ketika larut malam tiba, ulama yang berpulang Jumat, 30 Rajab 204 H/ 20 Januari 820 M di Al-Qarafah Al-Shughra, Fusthath, Mesir meminta izin kepada tuan rumah untuk beristirahat. Selama Al-Syafi‘i beristirahat malam itu, putri Ahmad bin Hanbal sengaja begadang dan mengamati apa saja yang dilakukan tamu mulia ayahandanya itu.
Kemudian, pagi harinya, seusai melaksanakan shalat subuh, sang putri memberanikan diri bertanya kepada ayahandanya dengan suara lirih, “Wahai ayahanda! Benarkah dia Al-Syafi‘i yang acap ayahanda bincangkan tentang kebaikan dan ketakwaannya itu?”
“Benar, wahai putriku,” jawab sang ayahanda penasaran. “Dia memang adalah Al-Syafi‘i yang acap kubincangkan denganmu. Ada apa?”
“Wahai ayahanda,” jawab sang putri tetap dengan suara pelan. “Semalam, saya sengaja tak memejamkan mata. Betapa saya ingin sekali tahu perihal perilaku guru ayahanda yang satu itu. Sejak guru dan tamu ayahanda itu datang, saya senantiasa mencermati seluruh gerak dan lakunya. Ternyata, selama itu, saya mengamati tiga hal yang saya sayangkan terhadap diri guru dan tamu ayahanda itu. Ketika saya menghidangkan makanan, duh, ternyata ia lahap sekali menyantap hidangan yang disajikan. Ketika ia sedang beristirahat, ternyata ia sama sekali tak melakukan shalat malam dan tahajud. Dan, ketika ia menjadi Imam shalat subuh tadi, ternyata ia tak berwudhu!”
Tentu, sang ayahanda kaget sekali dan sangat penasaran mendapat penjelasan dari putrinya tentang Imam besar yang dalam menetapkan hukum memadukan antara metoda Hijaz dan metoda Irak, yakni memadukan antara lahiriah teks-teks landasan hukum Islam dengan rasio, itu. Karena itu, selepas berbagi sapa beberapa lama, Imam yang salih dan hidup sederhana itu pun mengemukakan kepada Al-Syafi‘i perihal pengamatan putrinya.
Mendengar pertanyaan demikian, wajah Al-Syafi‘i tak menunjukkan rasa tak senang sama sekali. Malah, ia menjawab dengan wajah berbinar, “Wahai Imam Ahmad! Memang saya lahap sekali menyantap hidangan yang disajikan tersebut. Ini karena saya tahu, makanan yang kalian sajikan adalah makanan yang halal dan baik. Engkau adalah seorang ulama mulia. Sedangkan makanan yang disajikan orang mulia dan halal adalah obat. Berbeda dengan makanan orang pelit yang malah dapat menjadi penyakit. Jadi, saya makan tidaklah untuk memuaskan selera makan saya. Tapi, saya makan untuk berobat dengan makanan yang disajikan semalam. Sedangkan berkenaan dengan malam yang saya lewatkan tanpa shalat malam atau tahajud, semalam seakan saya melihat Al-Quran dan Sunnah Rasul Saw. ada di depan mata saya. Sehingga, dengan merenungi keduanya, saya menemukan kesimpulan tujuh puluh dua masalah fikih yang bermanfaat bagi kaum Muslim. Akibatnya, saya tak memiliki kesempatan untuk melaksanakan shalat malam. Dan, berkenaan dengan shalat subuh tanpa wudhu, sejatinya karena sepanjang malam saya tak tidur sama sekali dan tiada sesuatu pun yang membatalkan wudhu saya. Sehingga, saya shalat subuh dengan wudhu shalat isya.”
Betapa lega Ahmad bin Hanbal mendengar jawaban Al-Syafi’i tersebut yang tak selaras dengan pengamatan putrinya. Demikian pula putrinya yang mendengarkan penjelasan guru ayahandanya itu dari balik tirai. Malah, Ahmad bin Hanbal kemudian menekankan kepada putrinya bahwa hasil perenungan Al-Syafi’i yang bermanfaat bagi kemaslahatan kaum Muslim itu jauh lebih utama nilainya dibandingkan dengan shalat malam yang dilakukannya. (arofiusmani.blogspot.com/)
Thursday, August 25, 2011
Ramadhan dan Kisah Buah Apel
“Ya Allah, mengapa bulan Ramadhan begitu cepat melintas,” gumam pelan penulis sembari mencermati bintang-bintang yang bertebaran di langit cerah tadi dini hari dari balkon. Memang, selepas Ramadhan melintasi paruh pertamanya, entah kenapa penulis suka “mengintip” langit di dini hari. Sembari mencermati langit indah di dini hari, tiba-tiba penulis tersadarkan, di antara pelbagai hikmah Ramadhan yang penulis gapai pada tahun ini, dalam hubungan antarmanusia, hikmah kesabaranlah yang paling penulis dambakan. Mengapa kesabaran? Penulis merasa, kesabaran begitu besar maknanya baginya dalam menghadapi pelbagai godaan dan cobaan dalam kehidupan dewasa ini yang kian “menggoda”.
Entah kenapa, ketika sedang merenungkan hikmah Ramadhan tersebut, tiba-tiba penulis teringat kesabaran Tsabit bin Ibrahim, ayahanda Abu Hanifah Al-Nu‘man, pendiri Mazhab Hanafi, dalam menghadapi godaan sebuah apel nan lezat. Ternyata, dengan kesabarannya dalam menghadapi godaan buah apel nan lezat tersebut, hikmah luar biasa ia raih. Bagaimana kisah Tsabit bin Ibrahim tersebut? Berikut kisahnya:
“Duh, betapa lezat buah-buah apel itu,” gumam Tsabit bin Ibrahim ketika melintasi sebuah kebun apel luas selepas menempuh perjalanan panjang untuk meraih ilmu. Apalagi hari itu bekalnya telah habis dan tubuhnya terasa sangat lelah tak terkira. Karena itu, ia lantas memasuki kebun yang sedang tak dijaga itu dan kemudian melihat buah-buah apel yang ada di dalamnya. Lama, ia menatap satu demi satu buah-buah apel ranum yang sangat membangkitkan seleranya itu.
Sejenak Tsabit bin Ibrahim kemudian menghentikan langkah-langkahnya dan kemudian duduk di dekat sebuah pohon apel yang ranum buah-buahnya. Akhirnya, selepas lama menatap satu buah apel di pohon itu, tangannya terjulur ke arah buah itu dan memetiknya. Dan, kemudian, ia pun menyantap separohnya dan minum air jernih sungai yang ada di sebelah kebun itu. Tapi, tiba-tiba hati nuraninya mengingatkannya bahwa ia telah berbuat kesalahan: kebun dan buah apel itu bukan miliknya. Ia pun bergumam dengan hati yang perih dan sedih, “Wahai Tsabit! Betapa hina engkau ini. Betapa beraninya engkau memakan buah milik orang lain, tanpa meminta izin kepadanya?”
Kejadian itu benar-benar membuat Tsabit bin Ibrahim menyesal. Ia pun bertekad tak akan meneruskan perjalanannya, hingga bertemu dengan pemilik kebun itu. Ia akan meminta maaf atas tindakannya yang telah menyantap separoh apel tanpa izin. Karena itu, ia lantas mencari rumah pemilik kebun itu. Selepas berhasil menemukan rumah pemilik kebun apel itu dan berbagi sapa sejenak dengannya, ia pun berucap, “Wahai Tuan! Mohon kiranya saya dimaafkan. Tadi, tanpa seizin Tuan, saya memasuki kebun apel milik Tuan. Lalu, karena lapar dan lalai, saya memetik satu buah apel dan memakan separoh buah itu. Kemudian saya sadar, buah apel itu bukan milik saya. Karena itu, saya mohon kiranya Tuan berkenan memaafkan saya, juga mengikhlaskan separoh buah apel yang saya makan.”
Sejenak pemilik kebun tercenung dan kagum atas kejujuran anak muda yang ada di hadapannya itu. Lantas, ucapnya, “Wahai anak muda! Sungguh, saya tak kuasa merelakan tindakanmu. Betapa tak terpuji dan tak termaafkan tindakanmu itu. Kecuali bila engkau mau menerima satu syarat!”
“Apa syarat yang Tuan minta?” tanya Tsabit bin Ibrahim penuh rasa ingin tahu dan tentu saja penasaran.
“Anak muda,” jawab pemilik kebun itu seraya menatap tajam wajah anak muda yang sejatinya memikat kalbunya. “Syaratnya adalah engkau harus bersedia menikah dengan putriku. Tapi, perlu engkau ketahui, putriku itu adalah seorang gadis buta, dengan kata lain tak kuasa melihat. Juga, ia tuli, dengan kata lain tak kuasa mendengar. Dan ia juga bisu, dengan kata lain tak kuasa berbicara!”
Sedih, bingung, dan tak tahu harus menjawab bagaimana, begitu Tsabit bin Ibrahim mendengar satu syarat “pembebasan” dirinya dari kealpaan, keteledoran, dan kesalahan yang telah dilakukannya itu. Menikah dengan seorang gadis buta, bisu, dan tuli? Duh, siapakah mau menerima gadis demikian hanya karena kesalahan menyantap separoh buah apel. Berat nian persyaratan yang diajukan pemilik kebun itu.
“Duh, apakah akan kuterima syarat yang benar-benar tak ringan ini. Tapi, bagaimana kalau syarat itu kutolak?” gumam Tsabit bin Ibrahim lirih dengan hati perih dan sedih. Kemudian, selepas lama berpikir dan hati nuraninya mengingatkan kealpaan, keteledoran, dan kesalahan yang telah dilakukannya, akhirnya dengan hati yang mantap ia memutuskan menerima syarat yang diajukan pemilik kebun itu. Apa pun risikonya. Bukankah hidup di dunia yang fana ini tak lama. Juga, bukankah keridhaan Allah Swt. jauh lebih berharga dan lebih bermakna.
Betapa gembira pemilik kebun itu begitu tahu kesediaan Tsabit bin Ibrahim untuk menerima syarat yang diajukannya. Ia pun segera menyiapkan acara pernikahan anak muda itu dengan putrinya yang sangat disayanginya. Dan ketika hari pernikahan tiba, betapa galau dan resah anak muda itu. Andai waktu dapat diputar kembali ke belakang, sejatinya ia tak akan memakan buah apel itu. Sehingga, ia tak menikah dengan seorang gadis buta, tuli, dan bisu yang benar-benar tak diharapkannya itu. Tapi, kini, nasi telah menjadi bubur: hal itu telah terjadi. Akhirnya, ia hanya pasrah sepenuh hati kepada Allah Swt. Dan, pernikahan itu pun dilangsungkan.
Namun, betapa kaget Tsabit bin Ibrahim ketika bertemu dengan dengan gadis yang baru dinikahinya itu. Ternyata, gadis itu sangat cantik nan jelita, petah bicara, cepat tanggap terhadap setiap kata yang didengarnya, dan kuasa menjawab dengan cerdas setiap kata setiap orang yang menanyainya. Beda sekali dengan yang dikemukakan ayahandanya ketika mengemukakan satu syarat yang harus dipenuhinya.
“Wahai istriku,” tanya Tsabit bin Ibrahim penuh rasa ingin tahu, juga penuh haru. “Sejatinya apa yang terjadi? Ternyata, engkau kuasa bicara, mendengar, dan melihat. Tidak sebagaimana dikemukakan ayahanda kita?”
“Suamiku tercinta,” jawab gadis nan jelita itu dengan nada suara penuh takzim kepada suaminya yang baru menyuntingnya. “Ayahanda benar-benar tak berdusta kok.”
“Tak berdusta bagaimana?” tanya lebih jauh Tsabit bin Ibrahim penuh rasa ingin tahu dan sangat penasaran.
“Ayahanda memang mengatakan apa adanya. Aku buta, dengan pengertian aku tak pernah memandang laki-laki yang tak halal bagiku. Aku tuli, dengan pengertian aku tak pernah duduk di majelis yang sarat dengan gunjingan, iri, kedengkian, dan bincang-bincang yang tak bermakna. Dan aku bisu, dengan pengertian aku tak pernah mengatakan kata-kata yang tak senonoh dan tak pernah pula berbincang dengan laki-laki yang tak halal bagiku.”
Betapa gembira Tsabit bin Ibrahim mendengar jawaban istrinya yang demikian itu. Seketika itu juga ia bersujud syukur kepada Allah Swt., atas karunia istri salihah yang tidak ia duga sebelumnya. Dan, kelak, dari pasangan suami-istri ini lahir seorang anak yang kelak menjadi seorang ulama terkemuka yang pendiri Mazhab Hanafi: Abu Hanifah Al-Nu‘man. (arofiusmani.blogspot.com/)
Wednesday, August 24, 2011
"Surat Cinta" Al-Hasan Al-Bashri
Kemarin sore, ketika penulis sedang mengikuti perkembangan pergolakan politik yang sedang terjadi di Libya, lewat channel tivi: Al-Jazeera, CNN, dan Euronews, tiba-tiba penulis tersadarkan: para penguasa di kawasan Timur Tengah yang telah berkuasa ketika penulis masih menimba ilmu di Mesir (1978-1984), dan berkuasa terlalu lama, kini telah berjatuhan. Tiba-tiba pula dalam benak penulis membara pertanyaan, “Mengapa mereka terlenakan oleh kekuasaan, sehingga kekuasaan itu mereka genggam terlalu lama. Akibatnya, kekuasaan itu pun berubah menjadi “bara” di akhir perjalanan kekuasaan mereka.” Tidakkah para pemegang kekuasaan itu sadar, selain oleh rakyat, mereka akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Sang Khalik kelak di akhirat?
Merenung demikian, entah kenapa, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” ke Damaskus, Suriah, teringat kegelisahan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, penguasa ke-8 Dinasti Umawiyyah ketika menjabat sebagai khalifah. Kala itu, selama berhari-hari, betapa ia acap sulit memejamkan mata, walau malam telah sangat larut. Amanah yang ia sangga, sebagai khalifah, ternyata terasa sangat berat baginya.
Penguasa yang satu itu, sebagaimana termaktub dalam torehan sejarah Islam, terkenal adil dan bijak. Cicit ‘Umar bin Al-Khaththab ini lahir di Madinah pada 61 H/681 M (ada yang mengatakan 63 H/684 M) dan tumbuh dewasa di Helwan, Mesir hingga bersampai usia sekitar dua puluh tahun. Ia kemudian dikirim ke Madinah Al-Munawwarah, untuk menimba ilmu. Lantas, ketika ayahandanya berpulang, ia kembali ke Damaskus dan menikah dengan sepupunya, seorang putri ‘Abdul Malik bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-‘Ash, penguasa kelima Dinasti Umawiyyah, bernama Fathimah. Setahun selepas itu, pada 86 H/705 M, kala berusia dua puluh enam tahun, ia diangkat Al-Walid bin ‘Abdul Malik sebagai Gubernur Madinah, menggantikan Hisyam bin Isma‘il. Selanjutnya, putra ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-‘Ash ini diangkat menjadi Gubernur Makkah. Selama menjabat gubernur, kedua wilayah itu menjadi kawasan yang stabil dan aman. Jabatan itu ia pegang sampai 93 H/712 M. Selepas itu, ia kembali ke Damaskus untuk menjadi menteri utama di masa pemerintahan Sulaiman bin ‘Abdul Malik. Jabatan sebagai orang nomor satu Dinasti Umawiyyah dipegang ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pada 99 H/717 M, menggantikan ipar yang juga saudara sepupunya: Sulaiman bin ‘Abdul Malik.
Tak kuasa mengatasi kegelisahan dan keresahan hatinya, akhirnya suami Fathimah binti ‘Abdul Malik dan ayahanda tiga belas putra dan putri itu mengirim sepucuk surat kepada Al-Hasan Al-Bashri, untuk meminta nasihat dan arahan. Terkenal sebagai seorang ulama generasi tâbi‘în dan sufi terkemuka abad 2 H/8 M, Al-Hasan Al-Bashri lahir di Madinah pada 21 H/642 M, di masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab, dengan nama lengkap Abu Sa‘id Al-Hasan bin Yassar Al-Bashri. Namun, kemudian keluarganya pindah ke Bashrah, selepas terjadi Perang Shiffin pada 35 H/656 M. Sehingga, ia lebih terkenal dengan sebutan “Al-Bashri” (yang asal Bashrah). Ia tumbuh dewasa di Kota Nabi dalam lingkungan yang salih dan mendalam pengetahuan agamanya. Dan, selama bermukim di Kota Suci itu, ia bertemu tak kurang dari tujuh puluh sahabat.
Tak lama selepas menerima surat dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Al-Hasan Al-Bashri pun segera membalasnya. Ia, antara lain, menulis, “Ammâ ba‘d. Wahai Amir Al-Mukminin! Sungguh, dunia adalah tempat berkelana, bukan tempat bermukim selamanya. Adam a.s. diturunkan dari surga ke dunia tak lain karena sebagai hukuman atas dirinya. Karena itu, waspadalah terhadap dunia. Sungguh, bekal dari dunia ini adalah sikap menghindarinya. Kekayaan dari dunia adalah kemiskinannya. Di setiap saat, sejatinya dunia melakukan pembunuhan. Juga, dunia melecehkan orang yang memuliakannya dan memiskinkan orang yang menghimpunnya. Dan, dunia laksana racun yang menelan orang yang tak mencermatinya dan kemudian mematikannya. Karena itu, berbekal di dalamnya adalah dengan meninggalkan dunia dan kekayaan di dalamnya adalah dengan kefakiran.
Wahai Amir Al-Mukminin! Hendaklah sikapmu terhadap dunia laksana sikap orang yang sedang mengobati luka dirinya. Ia menjaga diri sebentar, karena khawatir terhadap sesuatu yang tak disukainya dalam masa yang lama. Ia bersabar atas getirnya obat, karena takut atas derita yang berlama-lama. Sejatinya, orang mulia adalah orang yang berucap benar, menapakkan kaki dengan menundukkan kepala, hanya menyantap makanan yang baik dan halal, memejamkan mata dari hal-hal yang haram, penuh rasa khawatir, baik di kala di darat maupun di laut, dan senantiasa berdoa, baik dalam kesulitan maupun kelonggaran. Andai bukan karena ajal yang telah ditetapkan atas diri mereka, tentu mereka tak ingin nyawa mereka tetap berpadu dengan tubuh mereka. Ini, karena mereka takut hukuman-Nya dan mengharapkan balasan-Nya. Dalam hati mereka, Sang Khalik demikian agung. Sedangkan semua makhluk, di mata mereka, demikian tiada artinya.
Wahai Amir Al-Mukminin! Tafakur dapat membuahkan ajakan untuk melakukan kebaikan dan mengamalkannya. Sedangkan penyesalan atas keburukan mengajak pada sikap meninggalkannya. Dan, sesuatu yang bercorak fana dapat berpengaruh atas sesuatu yang bercorak abadi. Demikian halnya, bersusah payah yang membangkitkan kedamaian lebih baik ketimbang kesenangan sesaat yang mengakibatkan penyesalan dan kesengsaraan nan tiada henti. Waspadalah terhadap pesona duniawi yang dapat mengaparkan, merendahkan, dan mematikan siapa saja, karena mengaguminya lantas terlena. Bila demikian, yang kemudian terjadi adalah hari-hari yang telah melintas tak dapat dijadikan pelajaran atas hal-hal yang bakal terjadi di masa depan. Ini adalah akibat perbuatan di masa lalu, yang tak gentar terhadap kebenaran peringatan Allah yang dikemukakan, tak menyadarkannya. Yang ada dalam kalbu, dalam kaitannya dengan pesona duniawi, hanyalah cinta buta semata. Barang siapa kalbunya hanya tertuju pada kehidupan duniawi semata, hingga saat kematian menjemput pun ia akan senantiasa memburu pesona yang menurutnya merupakan sesuatu yang paling memikat baginya. Akibatnya, pada dirinya, berpadu dua derita. Yaitu, kepedihan sakratulmaut dan keperihan tak kuasa merengkuh pesona yang ia damba. Dengan demikian, ia meniti perjalanan panjang menuju ke hadirat Allah Swt. Tanpa bekal apa pun dan datang (ke akhirat)dan tanpa persiapan sama sekali.
Wahai Amir Al-Mukminin! Karena itu, waspadalah sepenuhnya terhadap pesona duniawi. Sebab, pesona itu laksana ular. Manakala disentuh sedikit saja, ia kuasa membunuh dengan bisanya. Berpalinglah dari pesona yang engkau kagumi segala sesuatu yang ada di dalamnya, karena hanya sedikit darinya yang akan kuasa menyertaimu. Lepaskanlah hasratmu kepadanya, karena engkau yakin akan berpisah dengannya. Jadikanlah kepahitan berat yang ada padanya sebagai dambaan yang senantiasa engkau idamkan selepasnya. Waspadalah, karena setiap kali seseorang hamba dunia terbuai oleh kesenangan yang ada di dalamnya, akibat buruknya akan senantiasa menyertai dirinya. Manakala sesuatu yang ia gemari dapat direngkuhnya, sesuatu yang ia benci kelak akan menjadi penggantinya. Karena itu, sesuatu yang kini menyenangkan, kelak akan menjadi menyedihkan. Yang kini bermanfaat, kelak akan membahayakan. Kemakmuran di dalamnya kelak akan mengantarkan pada kepedihan. Kenikmatannya pun kelak akan dikembalikan menjadi kepahitan.
Wahai Amir Al-Mukminin! Pandanglah pesona duniawi dengan tatapan selamat jalan. Bukan dengan tatapan jatuh cinta. Ketahuilah, dunia memedayakan. Seolah, yang tinggal di dalamnya akan hidup abadi selamanya, juga menyajikan kesenangan bagi pemburu kesenangan di dalamnya. Sejatinya, kunci kesenangan dan kekayaan dunia pernah ditawarkan kepada Nabi Saw. Namun, beliau menolaknya. Tak lain karena beliau mengetahui bahwa sesuatu yang tak disukai Allah, beliau pun tak menyukainya, dan sesuatu yang dipandang kecil oleh Allah Swt., beliau pun memandangnya kecil. Andai beliau menerima tawaran itu, tentu hal itu menjadi penanda bahwa beliau mencintai pesona duniawi.
Kiranya Allah Swt. berkenan melimpahkan rahmat kepada kami, dengan nasihat ini. Juga, kepada engkau,
Wassalâmu‘alaikum wa Rahmâtullâh wa Barakâtuh.”
Betapa gembira ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menerima surat dari tokoh yang ikut serta dalam pasukan ‘Abdullah bin ‘Amir, Gubernur Bashrah, dalam pelbagai ekspedisi militer hingga ke Kabul dan baru kembali ke Bashrah pada 53 H/673 M serta menetap di kota itu hingga berpulang pada Kamis, 1 Rajab 110 H/ 10 Oktober 728 M. Nasihat Al-Hasan Al-Bashri itu kemudian banyak ia jadikan sebagai pedoman dan acuan dalam bertindak dan mengambil keputusan selama ia menjadi penguasa. (arofiusmani.blogspot.com/)
Thursday, August 18, 2011
"Kami pun Ingin Beri'tikaf, Tapi..."
“Mas, enak ya orang-orang lain di bulan Ramadhan seperti saat ini,” ucap seorang dokter spesialis, seraya menarik napas panjang, kepada penulis.
“Maksud Anda apa?”
“Coba bayangkan,” jawabnya lirih seraya menatap bintang-bintang dari balkon. “Di bulan Ramadhan yang suci ini, orang-orang lain sangat leluasa melakukan pelbagai ibadah. Sementara gerak kami dapat dikatakan terbatas sekali. Misalkan saja, orang-orang lain dapat beri‘tikaf begitu leluasa sepanjang malam di bulan suci ini. Sedangkan kami, khususnya kami para dokter spesialis, dari pagi hingga pagi berikutnya, harus senantiasa siap menangani para pasien. Malah, kadang, baru memejamkan mata sebentar, telpon demi telpon berdering dari rumah sakit yang mengharuskan kami menerima konsul. Kemudian, ketika baru mau memejamkan mata lagi, kerap telpon demi telpon berdering lagi. Bagaimana kami dapat beri‘tikaf? Kalau begitu, di manakah keadilan Allah Swt. bagi orang-orang yang berprofesi seperti kami: enak bagi orang lain, tidak enak bagi kami.”
Menerima pertanyaan yang memikat itu, sejenak penulis menarik napas panjang. Dan, tak lama kemudian, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” menuju Madinah, teringat kisah ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Kisah yang merupakan jawaban pertanyaan yang memikat itu sebagai berikut:
Kehadiran bulan Ramadhan tak pernah sepi dari sambutan kaum Muslim. Demikian pula yang dilakukan ‘Abdullah ibn Al-‘Abbbas, seorang sahabat dan saudara sepupu Rasulullah Saw. yang terkenal sebagai seorang ahli tafsir dan bernama lengkap Abu Al-‘Abbas ‘Abdullah bin Al-‘Abbas ibn ‘Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn ‘Abd Manaf. Putra pasangan suami-istri Al-‘Abbas ibn ‘Abdul Muththalib dan Ummu Fadhil Lubabah Al-Kubra binti Al-Harits ini lahir tiga tahun sebelum Hijrah di Makkah, kala Bani Hasyim sedang diboikot kaum Quraisy di Al-Syi‘b. Ia lebih dahulu memeluk Islam daripada ayahnya.
Di samping cerdas, sahabat yang baru berusia 13 tahun kala Rasulullah Saw. wafat ini juga dikenal memiliki ingatan sangat kuat. Selain itu, tokoh yang pernah menjabat sebagai Gubernur Basrah pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abu Thalib ini juga dikenal sebagai ilmuwan yang berwawasan luas dan “Bapak Ahli Tafsir (Al-Quran)”. Ini karena ia adalah sahabat Rasulullah Saw. yang pertama kali menyusun tafsir Al-Quran.
Hari itu, ‘Abdullah ibn Al-‘Abbas sedang beri‘tikaf di Masjid Nabawi, Madinah. Ketika ia dalam keadaan demikian, tiba-tiba seorang pria datang menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya.
“Wahai Saudaraku,” ucap ‘Abdullah ibn Al-‘Abbas selepas menjawab ucapan salam tamunya itu. “Kulihat engkau begitu resah dan gelisah, ada apa?”
“Benar, wahai putra Al-‘Abbas! Aku memiliki utang kepada seseorang. Demi penghuni makam itu (maksudnya Rasulullah Saw.), aku tak mampu melunasi utang itu!” jawab pria itu dengan perasaan sedih dan malu.
“Saudaraku! Bolehkah aku berbicara kepada orang itu?” ucap cucu ‘Abdul-Muththalib yang kelak wafat di Thaif itu.
“Tentu! Silakan, jika hal itu menurutmu pantas,” jawab pria itu sambil berterima kasih.
‘Abdullah ibn Al-‘Abbas pun keluar dari Masjid Nabawi dan mengenakan sandalnya. Melihat hal itu, seseorang menegurnya, “Wahai ‘Abdullah ibn Al-‘Abbas! Kenapa engkau keluar dari masjid? Lupakah engkau bahwa engkau sedang beri‘tikaf?!”
“Tidak, Saudaraku!” jawab tokoh yang mendapat sejumlah gelar, antara lain “Al-Bahr” (Samudera), “Al-Hibr” (Yang Tampan), dan “Tarjuman Al-Qur’an” (Juru bicara Al-Qur’an) itu. “Tetapi, aku pernah mendengar penghuni makam itu bersabda, ‘Barang siapa berjalan untuk memenuhi keperluan saudaranya dan berupaya sungguh-sungguh untuk memenuhi keperluan itu, maka hal itu lebih utama baginya ketimbang sepuluh tahun beri‘tikaf. Dan barang siapa yang beri‘tikaf satu hari karena mengharapkan ridha Allah, maka Allah Swt. akan menjauhkan antara dirinya dan neraka sejauh tiga parit, yang jarak antara satu parit dengan parit lainnya lebih jauh ketimbang jarak antara langit dan bumi.’”
Teringat kisah tersebut, penulis pun segera menyampaikannya kepada dokter tersebut seraya berucap, “Jangan lupa, niatkan seluruh langkah Anda demi Allah Swt. semata!” (arofiusmani.blogspot.com/)
Wednesday, August 17, 2011
SYUKUR
oleh H. Mutahar
Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karunia-Mu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
Kehadirat-Mu Tuhan
Dari yakinku teguh
Cinta ikhlasku penuh
Akan jasa usaha
Pahlawanku yang baka
Indonesia merdeka
Syukur aku hanjukkan
Ke bawah duli tuan
Dari yakinku teguh
Bakti ikhlasku penuh
Akan azas rukunmu
Pandu bangsa yang nyata
Indonesia merdeka
Syukur aku hanjukkan
Ke hadapanmu tuan
Tuesday, August 16, 2011
Sepenggal Doa di Bulan Ramadhan
“Ada tiga orang yang doa mereka tidak ditolak Allah: orang yang berpuasa hingga ia berbuka, pemimpin yang adil, dan orang yang dizalimi.” (HR Ahmad ibn Hanbal).
Setiap ada kesempatan, selama bulan Ramadhan ini, selain menulis dan membaca, penulis mencoba menyimak ceramah para dai kondang di negeri tercinta ini. Dalam ceramah yang mereka sajikan, ternyata mereka kerap menyitir hadis di atas. Mendengar ceramah mereka, entah kenapa kemudian penulis tergerak untuk membuka dan menyimak sebuah karya indah Prof. Dr. Muhammad Mahmud Ahmad dan Prof. Dr. Musa Al-Khathib, Du‘a Al-Anbiya’ wa Al-Rusul. Lembar demi lembar karya itu pun penulis cermati. Kisah demi kisah yang menjadi latar belakang pelbagai doa para Nabi dan Rasul pun penulis kaji. Duh, ternyata, doa-doa yang dihadirkan dalam karya itu demikian banyak. Dan, doa-doa itu demikian indah.
Entah kenapa, ketika penulis sedang merenungkan doa-doa indah para Nabi dan Rasul tersebut, tiba-tiba benak-benak penulis “melayang-melayang” ke Madinah dan teringat kisah nan indah yang berkenaan dengan doa Nabi Daud a.s. sebagai berikut:
Betapa gembira hati seorang sahabat hari itu, karena ia masih memiliki kesempatan menghadiri pertemuan dengan Rasulullah Saw. di hari itu di Masjid Nabawi, Madinah, seperti yang acap beliau lakukan setiap minggu manakala beliau sedang tidak melakukan perjalanan keluar kota. Sahabat yang satu itu tak lain adalah Abu Al-Darda’, seorang sahabat yang berasal dari suku Khazraj, Madinah dan bernama lengkap Abu Al-Darda’ ‘Uwaimir bin Zaid bin Qais bin ‘A’isyah bin Umayyah bin Malik bin ‘Adiy bin Ka‘b bin Al-Khazraj bin Al-Harits. Sebelum memeluk Islam, Abu Al-Darda’ memiliki profesi sebagai seorang pedagang.
Dalam pertemuan pada hari itu Rasulullah Saw. memperbincangkan kisah Nabi Daud a.s. Seperti diketahui, Nabi Daud a.s. adalah seorang nabi yang namanya disebut 16 kali di dalam Al-Quran. Nabi yang satu ini adalah anak keturunan Nabi Ibrahim a.s. generasi ke-11. Ketika kecil ia hidup sebagai penggembala ternak seperti halnya Rasulullah Saw. Suatu saat, ketika ia telah remaja, Saul, raja Bani Israil, meminta bantuan kepadanya untuk melawan Jalut. Ternyata, ia berhasil mengalahkan raja Palestina itu. Melihat kemenangan dan ketenaran nama yang direngkuhnya, Saul pun berupaya membunuhnya. Daud berhasil melarikan diri. Setelah Saul mati, Daud lalu mendirikan sebuah kerajaan di Hebron. Tapi, kemudian kerajaannya ia pindahkan ke Jerusalem. Selain menjadi raja, Allah juga memberi wahyu kepada Nabi Daud a.s. karena ketaatannya kepada-Nya dan memberinya kekuatan, ilmu yang tinggi, dan dapat membuat baju besi serta menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersamanya di kala pagi dan senja hari. Ketika menjelang meninggal dunia, ia mewariskan kerajaannya kepada putranya yang bijak, Nabi Sulaiman a.s.
Rasulullah Saw., dalam menuturkan kisah Nabi Daud a.s. tersebut, memaparkan pula kepada para sahabat bagaimana kecintaan Nabi Daud a.s. kepada Allah Swt. Beliau kemukakan kepada mereka bahwa dalam berdoa Nabi Daud a.s. senantiasa memohon agar mendapatkan karunia cinta kepada-Nya. Selain itu, ia juga memohon agar cintanya lebih besar ketimbang cintanya kepada dirinya sendiri dan keluarganya. Kemudian, tentang doa Nabi Daud a.s. tersebut, Rasulullah mengemukakan, “Wahai sahabat-sahabatku! Di antara doa yang dipanjatkan Nabi Daud a.s. adalah Allâhumma innî as’aluka hubbak, wa hubba man yuhibbuk, wa al-‘amal al-ladzî yuballighunî hubbak. Allâhumma ij‘al hubbaka ahabba ilayya min nafsî wa ahlî wa min al-mâ’ al-bârid (Ya Allah! Aku memohon kepada Engkau cinta kepada-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu, dan amal yang dapat membuat aku meraih cinta kepada-Mu. Ya Allah! Jadikanlah cinta kepada-Mu lebih kusukai daripada cinta kepada diriku sendiri, keluargaku, dan air yang menyejukkan).”
Betapa indah doa Nabi Daud a.s. tersebut. Dan, semenjak bulan Ramadhan ini, penulis pun menjadikan doa itu sebagai salah satu doa pilihan penulis. Kiranya Allah Swt. menerima doa tersebut, amin! (arofiusmani.blogspot.com/)
Monday, August 15, 2011
1401 Tahun yang Silam
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Tadi malam, ketika menyaksikan penyerahan Ahmad Bakrie Award 2011 (di TVOne), kepada para peraih hadiah tersebut, entah kenapa kepala penulis tiba-tiba menunduk dan benak melayang ke Gua Hira’, Makkah Al-Mukarramah. Kepala menunduk karena teringat kembali sejarah turunnya wahyu kepada Rasul Saw. Yang terbayangkan dalam benak penulis: betapa beda sekali suasana 1401 tahun silam, ketika Rasul Saw. pertama kali menerima wahyu, dengan suasana penerimaan award tersebut yang mewah, meriah, dan gemerlap itu. Tentu dapat dibayangkan, kala di puncak Jabal Nur, beliau kala itu sendirian, sementara suasana sekeliling sangat sunyi, langit sangat cerah (kala itu bulan September), dan hawa di sekitar Makkah mulai segar. Dengan suasana demikian, tentu pula dapat dibayangkan betapa beliau sangat kaget ketika tiba-tiba Jibril muncul di hadapan beliau. Bagaimanakah lembaran sejarah menorehkan kejadian luar biasa di puncak Jabal Nur pada 1401 tahun yang silam?
Bulan itu adalah bulan Ramadhan tahun kelima selepas pemugaran Ka‘bah dan kelahiran Fathimah Al-Zahra’. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Rasul Saw. kembali meninggalkan rumahnya menuju Gua Hira’ seperti yang biasa beliau lakukan setiap tahun. Beliau berjalan sendiri melintasi pinggiran Kota Makkah seraya berpikir tentang keagungan Allah, kekuasaan-Nya, dan keindahan ciptaan-Nya. Jiwanya saat itu kian matang.
Ketika itu Rasul Saw. kian yakin, masyarakatnya telah menyimpang jauh dari jalan yang lurus dan kehidupan ruhaniah mereka telah rusak karena tunduk pada khayalan berhala-berhala dan pelbagai kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua ajaran yang telah pernah dikemukakan oleh masyarakat Yahudi dan umat Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu. Apa yang mereka sampaikan masih mengandung aneka ragam takhayul dan pelbagai ragam kemusyrikan yang tak mungkin seiring dengan kebenaran sejatinya, kebenaran mutlak sederhana yang tidak mengenal segala bentuk spekulasi dan perdebatan kosong yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Kebenaran itu adalah Allah, Sang Pencipta semesta alam, tiada Tuhan selain Dia. Kebenaran itu adalah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu adalah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya, “Barang siapa melakukan kebajikan seberat zarah pun, ia akan melihatnya! Dan, barang siapa melakukan kejahatan seberat zarah pun, ia akan melihatnya.” (QS Al-Zalzalah [99]: 7-8).
Jauh dari orang lain dan berhadapan langsung dengan alam, Rasul Saw. kala itu memang senantiasa berusaha mencari makna dan kedamaian. Beliau tidak pernah mengikuti ibadah penyembahan berhala, tidak meyakini kepercayaan dan ritual suku-suku di wilayahnya, dan menjauhi segala bentuk takhayul dan buruk sangka. Beliau terlindung dari tuhan-tuhan palsu. Baik dalam bentuk penyembahan terhadap berhala maupun penghambaan terhadap kekuasaan dan kekayaan. Beberapa kali beliau bercerita kepada istrinya, Khadijah, perihal mimpi yang ternyata benar, yang membuat beliau terganggu karena meninggalkan kesan yang sangat kuat selepas beliau terbangun. Itulah pencarian-kebenaran sejati: tidak puas dengan jawaban orang-orang di sekelilingnya, dan terdorong oleh keyakinan mendalam bahwa beliau harus mencari jawaban lebih lanjut.
Usia Rasul Saw. kala itu telah mendekati empat puluh tahun. Kala itu sendiri, beliau telah mencapai titik perkembangan ruhaniah yang menuntut introspeksi mendalam untuk mencapai titik berikutnya. Sendirian di dalam Gua Hira’, beliau merenungkan makna kehidupannya, kehadirannya di dunia, dan pelbagai penanda yang telah mengiringinya sepanjang hidupnya. Bentangan cakrawala di sekelilingnya mungkin mengingatkannya pada suasana masa kecilnya. Bedanya, kini kedewasaan telah memenuhinya dengan pelbagai pertanyaan eksistensial mendasar.
Rasul Saw. kala itu sedang mencari. Dan, pencarian ruhaniah ini secara alamiah menuntunnya menuju sebuah panggilan yang secara tidak langsung, namun pasti telah ditunjukkan oleh penanda-penanda yang beliau saksikan sepanjang hidupnya. Beragam penanda yang telah melindungi dan menenangkan hatinya, visi yang pertama kali muncul dalam mimpi-mimpinya, yang kemudian menjelma dalam hidupnya, dan pelbagai pertanyaan yang melintasi hati dan pikirannya yang bertautan dengan cakrawala yang terbentang di alam, telah mengantarkannya pada inisiasi tertinggi menuju makna, pada perjumpaan dengan Pendidiknya, Allah Yang Maha Esa. Saat berusia empat puluh tahun, siklus pertama kehidupannya berakhir.
Lantas hari itu, tepatnya pada Ramadhan 610 M (hari Senin, 17 Ramadhan, menurut Muhammad bin Sa‘d), Rasul Saw. sedang khusyuk bertafakur di Gua Hira’. Tiba-tiba beliau mendengar suara yang menggema sangat kuat di seluruh dinding gua memanggilnya. Suara itu seakan datang dari atas. Lalu, tampak di hadapannya sesosok tubuh besar seakan memenuhi gua. Sosok yang diselubungi cahaya berpendar menyilaukan itu lantas berucap tegas, “Wahai Muhammad! Engkaulah utusan Allah.”
Rasul Saw. pun berlutut. Perasaan takut menyergap kuat dirinya. Sosok itu kemudian berucap lagi, “Wahai Muhammad! Aku adalah Jibril dan engkau adalah utusan Allah!” Lalu, sosok itu memperlihatkan kepada beliau sebuah lembaran yang terlipat dalam kain sutra dan memerintahkan kepadanya, “Bacalah!” “Aku tidak kuasa membaca,” jawab beliau terbata-bata dan kebingungan. Mendengar jawaban beliau yang demikian, Jibril lantas memeluknya kuat. Lalu, Jibril melepaskannya seraya berucap keras, “Bacalah!” “Aku tidak kuasa membaca,” jawab beliau kian kebingungan. Jibril memeluknya sekali lagi. Kuat sekali. Hingga beliau hampir tak kuasa bernapas. Lalu, Jibril kembali berucap keras, “Bacalah!” Karena khawatir Jibril akan memeluknya dengan sangat kuat lagi, beliau pun menjawab, “Apa yang harus kubaca?”
Ternyata, Jibril tetap memeluknya. Sekuat pelukan sebelumnya. Lalu, Jibril membacakan, “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Rasul Saw. kemudian mengejanya, dituntun Jibril yang kemudian segera meninggalkannya dengan tiada hentinya berpesan kepadanya, “Wahai Muhammad! Engkaulah utusan Allah.”
Pengalaman pertama kali menerima wahyu ini sungguh luar biasa, hingga menggetarkan hati dan pikiran Rasul Saw. Wahyu itu juga disertai dengan kepastian bahwa pengantar wahyu itu adalah malaikat dan bukan kekuatan psikis atau jinn. Wahyu yang turun itu menggema ke seluruh semesta alam dan mengubah suasana di sekitar beliau. Gema itu menimpa beliau seakan suatu pukulan, dan beliau mendengar kegaduhan keras dan bertalu laksana beribu suara genta. Selama dua puluh tiga tahun selepas kejadian di Gua Hira’ itu, kapan saja menerima wahyu, beliau senantiasa merasakan tekanan hebat. Beliau akan berkeringat dan manakala beliau sedang naik unta atau kuda, hewan-hewan itu pun terbungkuk di bawah tekanan titah yang turun dari Allah Swt.
Di sini timbul pertanyaan, mengapa Rasul Saw. yang menerima titah Allah Swt. justru tak kuasa membaca (ummiy)?
Seyyed Hossein Nasr, dalam karyanya Muhammad Man of Allah, menjawab pertanyaan yang demikian, menulis, “Untuk memahami doktrin fundamental ini, perlu sekali diingat bahwa wahyu bukan sebuah produk pikiran Nabi Muhammad Saw. Tapi, wahyu diturunkan dari langit kepada beliau. Al-Quran bukan kata-kata beliau, tapi titah Allah. Beliau hanyalah salurannya. Watak tidak kuasa membaca beliau berarti bahwa sebelum firman Allah dapat diterimakan, maka wadah manusianya haruslah murni dan bening. Allah tak begitu saja menulis di atas sembarang lembaran. Untuk itu disyaratkan hati yang murni, ruh dan pikiran yang tak ternoda oleh ajaran manusia, agar mampu berfungsi sebagai lembaran yang menerima titah Allah. Jika seseorang memahami arti wahyu dan kesempurnaan transendensi ketuhanan di atas segala-galanya yang serba manusiawi dan kesempurnaan tindakan Allah serta manusia penerimanya, maka orang itu akan memahami mengapa Nabi Muhammad Saw. tak dapat lain kecuali tidak kuasa membaca. Betapa pun pedas kritik para cendekiawan Barat modern mengenai sisi ini, tidaklah itu apa-apa, karena mereka menolak menerima kenyataan wahyu dan perbedaan kualitas antara titah Allah dengan manusia yang menjadi wadahnya.”
Selepas turunnya wahyu itu, Rasul Saw. (saat itu ia berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut tahun Bulan/Qamariyyah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurun tahun Matahari/ Syamsiyyah) segera pulang menuju rumah beliau di kegelapan dini hari, dalam keadaan takut, pucat, dan sendi-sendinya gemetar. Dan, ketika sampai di kamar istri beliau, Khadijah binti Khuwailid, beliau merasa berada di tempat yang aman. Kemudian beliau menceritakan kepada istrinya, dengan suara gemetar, segala sesuatu yang telah terjadi. Beliau curahkan kepada istrinya segala hal yang membuatnya ketakutan dan meminta agar dirinya diselimuti.
Khadijah binti Khuwalid, sang istri teladan, pun merangkul dan mendekap sang suami tercinta di dadanya. Roman mukanya membangkitkan sifat keibuan yang telah berakar kuat di hatinya. Ia kemudian berucap dengan suara lirih dengan segenap keteguhan dan keyakinan, “Kiranya Allah memelihara kita, wahai Abu Al-Qasim! Bergembiralah wahai putra pamanku. Tenanglah. Demi Zat yang menguasai diri Khadijah, aku berharap engkau akan menjadi nabi umat ini. Demi Allah, sungguh Allah tak akan menghinakanmu selamanya. Bukankah engkau suka bersilaturahmi, senantiasa berkata jujur, suka menolong orang yang kesusahan, senantiasa menghormati tamu, dan senantiasa membantu orang yang tertimpa musibah.”
Rona kegembiraan pun mewarnai wajah Muhammad Saw. yang kini telah diangkat sebagai Nabi Allah (Nabiy Allâh). Sedikit demi sedikit rasa takutnya sirna. Suara sang istri yang merdu lagi penuh kasih sayang pun menyelinap seiring dengan berpendarnya cahaya fajar ke dalam relung hati beliau, menebarkan keyakinan, rasa aman, dan tenang dalam diri beliau. Kala sang istri teladan menuntun Nabi Saw. ke tempat tidur. Ia menidurkan beliau seperti yang dilakukan seorang ibu terhadap anak yang disayanginya. Ia pun menghibur beliau dengan suaranya yang merdu, seolah ia menebarkan mimpi yang indah di pembaringan beliau. Dan, kemudian, ia sangat merasa puas melihat suaminya tercinta tertidur pulas. Ia pun memperhatikan suaminya dengan penuh rasa cinta, kasih sayang, dan kekaguman.
Kejadian itu sendiri, di sisi lain, kian mengukuhkan keistimewaan Khadijah binti Khuwailid: betapa ia begitu tenang dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sangat kritis. Begitu pula jawabannya kepada suaminya tercinta berkenaan dengan suatu masalah yang bahkan akan menggetarkan para lelaki perkasa dan tentu akan menghadirkan rasa takut pada diri perempuan mana pun. Suatu jawaban yang keluar dari kepribadian seorang istri teladan yang sangat matang dan yakin bahwa suami yang dicintainya adalah orang yang kelak akan mendapatkan kabar gembira berupa kenabian dan wahyu dari langit. (arofiusmani.blogspot.com/)
Saturday, August 13, 2011
Pergulatan Ruhaniah Leopold Weiss
Menulis dan membaca, itulah dua kegiatan yang senantiasa “melekat” dengan diri penulis, alhamdulillah. Juga, di bulan Ramadhan 1432 H ini. Nah, kemarin, selepas capai menulis, tiba-tiba mata penulis terarah ke sebuah buku memikat yang disusun seorang Imam asal Indonesia di New York, Amerika Serikat: Imam M. Shamsi Ali. Segera, buku itu penulis ambil dan simak dengan cermat. Dalam buku yang berjudul Dai Muda di New York City itu ditampilkan proses keislaman beberapa saudara seiman kita dari negara adikuasa tersebut.
Entah kenapa, ketika membaca buku tersebut, tiba-tiba penulis teringat pergulatan ruhaniah Leopold Weiss menuju Islam. Lembaran sejarah menorehkan, selepas memeluk Islam, Leopold Weiss memilih nama: Muhammad Asad. Tokoh yang satu ini, kemudian terkenal sebagai seorang pemikir dan tokoh Muslim terkemuka yang pernah menjabat wakil tetap Pakistan di PBB. Tokoh yang satu ini lahir di Lvov (orang Jerman menyebutnya Lemberg), Polandia pada Senin, 4 Rabi‘ Al-Awwal 1318 H/2 Juli 1900 M. Ketika ia berusia 14 tahun, keluarganya pindah ke Wina, Austria. Lantas, ketika menjadi mahasiswa di Universitas Wina, anak keturunan keluarga para rabi ini menjadi reporter sejumlah harian berbahasa Inggris dan Jerman. Kemudian, ia dikirim Franfurter Allgemeine Zeitung, salah satu koran paling bergengsi di Jerman dan Eropa saat itu, ke Palestina, Suriah, Irak, Iran, Afghanistan, dan Arab Saudi. Pada 1345 H/1926 M sahabat karib Raja ‘Abdul ‘Aziz Al Sa‘ud ini memeluk Islam.
Bagaimanakah “kisah dan perjalanan” Muhammad Asad menuju Islam?
“Suatu hari-tepatnya pada September 1926-Elsa dan saya sedang menikmati perjalanan naik kereta bawah tanah di Berlin,” ucap Muhammad Asad, seperti diceritakan kembali oleh Ismail Ibrahim Nawab dalam tulisannya “From Berlin to Makkah” (Saudi Aramco World, Januari/Februari 2002). “Kami naik di kompartemen untuk kelas menengah atas. Tiba-tiba pandangan saya terarah kepada seorang pria di depan saya. Pria itu mengenakan busana rapi. Tampaknya, ia adalah seorang pengusaha kaya...Saat itu, entah kenapa dalam benak saya timbul pikiran iseng: orang di depan saya itu benar-benar merupakan gambaran tepat kemakmuran yang saat itu dapat ditemukan di mana saja di Eropa Tengah...Sebagian besar orang saat itu mengenakan busana indah dan menikmati makanan yang melimpah. Termasuk orang di depan saya itu.
Namun, ketika saya menatap wajah orang itu, saya merasa wajahnya nampak tidak memancarkan kebahagiaan. Kedua matanya kosong dan memandang ke arah jauh, sedangkan kedua sudut bibirnya tertarik seakan ia sedang kesakitan. Padahal, tubuhnya tampak sehat. Tak ingin dipandang sebagai orang yang berperilaku kasar, saya pun memalingkan pandangan ke samping orang itu. Ternyata, di sampingnya duduk seorang perempuan yang berpenampilan anggun. Ternyata, wajah perempuan itu pun memancarkan ketidakbahagiaan. Tampaknya, ia sedang merenungkan atau mengalami sesuatu yang membuat ia kesakitan. Selepas itu, saya pun mulai mencermati satu demi satu wajah orang-orang yang berada dalam kompartemen itu: wajah orang-orang yang mengenakan busana indah dan menikmati makanan melimpah. Ternyata, nyaris wajah setiap orang memancarkan rasa sakit tersembunyi. Rasa sakit tersembunyi yang tak disadari sang pemilik wajah. Kesan yang saya dapatkan itu demikian kuat. Sehingga, hal itu kemudian saya ceritakan kepada Elsa. Ia pun mulai memandang ke sekeliling, dengan pandangan seorang pelukis yang sangat cermat dalam mengamati sosok manusia. Kemudian, ia berpaling ke arah saya dengan perasaan heran dan berucap, ‘Betul engkau. Mereka nampak seakan sedang merasakan siksaan neraka...Saya bingung, apakah mereka tahu apa yang sedang terjadi pada diri mereka sendiri?’
Saya tahu, mereka tak menyadari keadaan yang sedang “menyergap” diri mereka. Tentu, mereka tak akan kuasa membersihkan kehidupan mereka tanpa memiliki keyakinan apa pun yang teguh, tanpa tujuan hidup apa pun di luar keinginan untuk meningkatkan “standar kehidupan”, tanpa harapan apa pun selain memiliki lebih banyak kekayaan material, lebih banyak peralatan, dan barang kali juga lebih banyak kekuasaan...
Ketika tiba di rumah, tanpa sengaja pandangan saya terarah pada sebuah kitab Al-Quran yang sebelumnya pernah saya baca. Tanpa sadar, kitab suci itu saya ambil. Begitu saya buka lembaran kitab suci itu, kedua mata saya pun terarah pada halaman yang terbuka di hadapan saya. Dan, saya pun membaca, “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, hingga kalian masuk ke dalam kubur. Jangan begitu! (Karena) kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian). Jangan begitu! (Karena) kelak kalian akan mengetahui. Jangan begitu! Jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka Jahim, dan sungguh kalian benar-benar akan melihatnya dengan sebenar-benarnya. Kemudian, pada hari itu, kalian pasti akan ditanya tentang kenikmatan (yang kalian megah-megahkan di dunia).” (QS Al-Takâtsur [102]: 1-8)
Sejenak, saya tak kuasa berkata. Sepatah kata pun tak kuasa. Saya rasakan, kitab suci itu bergetar di tangan saya. Kemudian, kitab itu saya serahkan kepada Elsa seraya berucap, ‘Bacalah ayat-ayat ini. Bukankah ayat-ayat ini merupakan jawaban atas hal-hal yang kita saksikan di kereta api bawah tanah tadi? Ayat-ayat ini merupakan jawaban pasti, sehingga semua keraguan kita kini tiba-tiba akhirnya sirna.’
Kini, saya tahu, di balik keraguan sebelumnya, kitab yang diwahyukan Tuhan yang kini berada di tangan saya ini jelas-jelas telah mengantisipasi sesuatu yang benar-benar terjadi hanya di masa kita yang begitu kompleks, bercorak mekanis, dan sarat dengan gejolak ini, walau kitab ini diturunkan lebih dari tiga belas abad yang silam. Memang, sepanjang masa manusia dikenal rakus. Namun, sebelumnya, kerakusan hanya berbentuk keinginan kuat untuk merengkuh sesuatu. Sedangkan kini, kerakusan telah menjadi obsesi yang mewarnai pandangan terhadap segala sesuatu: keinginan untuk memiliki sesuatu yang tak tertahankan, untuk melakukan sesuatu, dan mengangan-angankan lebih dan lebih-hari ini lebih daripada kemarin dan hari esok lebih ketimbang hari ini. Dan, kelaparan tersebut merupakan kelaparan yang tak pernah terpuaskan terhadap segala tujuan yang membara dalam jiwa manusia, “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, hingga kalian masuk ke dalam kubur…”
Menurut saya, ayat-ayat itu tak mungkin merupakan kata bijak seorang pria dari Semenanjung Arab di masa silam itu. Sebijak apa pun ia, pria itu tak mungkin meramalkan nestapa aneh yang menimpa abad ke-20 ini. Sesuatu yang dikemukakan Al-Quran jauh lebih agung dari pada ucapan Muhammad...”
Semenjak itu, Leopold Weiss pun berhasrat menjadi seorang Muslim. Kemudian, ia menyatakan keislamannya di hadapan seorang tokoh masyarakat Muslim kecil di Berlin. Ia pun mengubah namanya menjadi Muhammad, sebagai penghormatan kepada Nabi Saw., dan Asad, yang berarti “Singa”, sebagai pengingat nama kecilnya “Leopold”. “Islam,” menurutnya, “masuk ke dalam relung kalbu saya laksana seorang pencuri yang memasuki sebuah rumah di tengah malam. Namun, Islam masuk untuk terus menetap selamanya. Tidak seperti seorang pencuri yang masuk rumah seseorang untuk kemudian dengan tergesa-gesa keluar lagi.”
Kemudian, selepas menikah dengan Elsa Scheimann, Muhammad Asad pun naik haji. Ternyata, ketika berada di Tanah Suci, ia “menghadapi ujian”: selepas sembilan hari berada di Tanah Suci, sang istri tercinta yang mantan model itu, Elsa, berpulang dan dikebumikan di Makkah. Walau mendapatkan ujian demikian, ia tetap “tidak berbalik langkah”. Selepas itu, ia tetap mengabdikan dirinya untuk Islam hingga berpulang di Spanyol pada Senin, 19 Ramadhan 1412 H/23 Februari 1992 M. Jenazah tokoh yang meninggalkan sejumlah karya tulis, antara lain Unromantisches Morgenland (The Unromantic East), Islam at the Crossroads, The Road to Mecca, The Principles of State and Government in Islam; Sahih Al-Bukhari: The Early Years of Islam, The Message of the Qur’an, dan This Law of Ours itu dikebumikan di Kota Granada, Spanyol.
“Betapa menawan “pergulatan ruhaniah” Muhammad Asad itu,” ucap pelan penulis seraya merenung. Sejatinya, “pergulatan ruhaniah” Muhammad Asad tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu contoh menarik tentang suatu fenomena yang kerap terjadi di masa modern kini: kisah kegelisahan dan peralihan agama sederet tokoh dan intelektual Barat ke dalam pelukan Islam, selepas mereka melintasi “pergulatan ruhaniah” lama yang menawan. Di antara mereka, antara lain, adalah Lord Stanley of Alderley, salah seorang paman Bertrand Russell, Baron ke-11 Headley, Muhammad Marmaduke Pickthall, Martin Lings, Charles Le Gai Eaton, René Guénon, Classius Clay, Vincent Mansour Monteil, Malcolm X, Roger Garaudy, Maurice Bucaille, Murad Wilfried Hofmann, Baron Umar von Ehrenfels, Abdul Karim Germanus, Frithjof Schuon, Thomas Irving, Margaret Marcus, Cyril Glassé, Jeffrey Lang, Michael Wolfe dan lain-lain.(arofiusmani.blogspot.com/)
Friday, August 12, 2011
Mengapa Rasul Saw. Bertahannuts di Gua Hira'?
Wulida-l-hudâ fa-l-kâ’inâtu dhiyâ’u
Wa fammu-z-zamâni tabassumun wa tsanâ’u
A-r-rûhu wa-l-mala’u-l-malâ’iku haulahu
Li-d-dîn-i wa-d-dunyâ bihi busyrâ’u
Wa-l-‘arsyu yazhû wa-l-hadzîratu tazdahî
Wa-l-muntaha wa-d-durratu-l-‘ashmâ’u
Telah lahir Sang Nabi, pembawa petunjuk nan cemerlang
Semesta alam pun berpendar sangat benderang
Mulut zaman tiada henti dan senantiasa menggemakan
Senyuman, pujian, serta sanjungan
Jibril dan para malaikat pun mengitarinya senantiasa
Karena berita gembira ‘tuk agama dan dunia sertai kelahirannya
‘Arasy bangga dan surga tak kalah ceria
Sidrah Al-Muntaha dan Mutiara Putih pun berdendang ria
(Ahmad Syauqi)
Tadi malam, selepas melaksanakan shalat tarawih, entah kenapa benak penulis tiba-tiba “melayang-layang” menuju ke Gua Hira’, sebuah gua yang terletak sekitar lima kilometer dari Masjid Al-Haram. Tentu kita semua tahu, di gua itulah Rasul Saw., sebelum diangkat sebagai Utusan Allah Swt., menyingkir dari keriuhrendahan kehidupan ramai di Kota Makkah kala itu. Kadang, beliau tinggal di sana selama satu bulan. Lebih-lebih di bulan Ramadhan. Hal yang demikian itu beliau lakukan selama sekitar tujuh tahun. Enam bulan terakhir beliau meningkatkan frekuensi kunjungannya ke gua itu. Peristiwa ini sendiri menandai dimulainya suatu karya kenabian, dengan diterimanya wahyu pertama dari Allah Swt. di hari Senin, 17 Ramadhan/6 Agustus 610 M (menurut Ibn Sa‘d dalam karyanya Al-Thabaqât Al-Kubrâ), kala beliau sedang khusuk bertafakkur, “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Itulah saat penobatan Muhammad bin ‘Abdullah sebagai Nabi Allah. Saat menerima pengangkatan menjadi Nabi ini, usia beliau mencapai 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut tahun Bulan (Qamariyyah) atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurun tahun Matahari (Syamsiyyah). Di sini timbul pertanyaan: mengapa Rasulullah Saw. bertahannuts (menyendiri, merenung, dan beribadah) di Gua Hira’?
Tugas utama kenabian yang dipikul Rasul Saw. adalah untuk mengantarkan masyarakat menuju cita ideal yang dikehendaki Allah Swt. Tindakan menyendiri ke tempat yang sepi dan terpisah dari riuh rendah kehidupan masyarakat ramai tersebut sejatinya adalah sebagai persiapan untuk menerima dan melaksanakan tugas besar tersebut. Sebab, setiap tindakan besar yang hendak mengubah dan membentuk dunia sulit terjadi jika tidak ada seorang “agen” atau pribadi yang sadar dengan dua kemampuan sekaligus. Pertama, kemampuan untuk melakukan penjarakan terhadap kenyataan yang kongkrit (detachment). Dengan mengambil jarak atas kenyataan itu, seorang “agen” akan mampu melihat dunia dengan seluruh kekurangan, kelebihan, dan kemungkinan-kemungkinannya. Dunia tak bisa diubah dan diantarkan menuju kemungkinan yang lebih baik, jika seorang “agen” tenggelam sepenuhnya dalam kepenuhan dunia itu sendiri. Kedua, kemampuan untuk terlibat kembali selepas momen penjarakan dilakukan beberapa saat (reattachment). Saat pengambilan jarak, atau dalam kasus Rasulullah Saw. disebut tahannuts, hanyalah situasi sementara agar seorang “agen” bisa berada di “luar” dunia. Saat terpenting justru berada kembali di “dalam” dunia untuk mengubah dan mentransformasikannya sesuai “gambar” yang dikehendaki seorang agen.
Sementara Al-Ghazali, dalam karyanya Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, dalam komentarnya tentang jalan yang ditempuh Rasulullah Saw. ketika bertahannuts di Gua Hira’, menulis, “Manfaat pertama (dari bertahannuts) adalah pemusatan diri dalam beribadah, berpikir, mengakrabkan diri dalam munajat dengan Allah, dengan menghindari hubungan dengan sesama manusia, serta menyibukkan diri untuk menyingkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi. Inilah yang disebut kekosongan. Padahal, tiada kekosongan dalam bergaul serta mengisolasi diri. Mengisolasi diri jelas lebih baik. Malah, Rasulullah Saw., di permulaan kenabian beliau, hidup menyendiri di Gua Hira’ serta mengisolasi diri, sehingga cahaya kenabian dalam diri beliau menjadi kuat. Ketika itu para makhluk tidak kan kuasa menghalangi beliau dari Allah. Sebab, meski tubuh beliau beserta para makhluk, namun kalbu beliau senantiasa menghadap Allah.”
Pertanyaan lain yang mungkin timbul: mengapa Rasulullah Saw. memilih Gua Hira’ sebagai tempat bertahannuts, bukan tempat-tempat lain?
Gua Hira’, seperti diketahui, adalah sebuah gua yang terletak di sebelah timur Masjid Al-Haram dan di puncak Jabal Nur. Tingginya dari permukaan laut sekitar 621 meter dan sekitar 281 meter dari permukaan tanah. Untuk mendaki sampai ke gua itu diperlukan waktu kurang lebih satu jam. Gua itu sendiri tidak terlalu besar dan pintunya menghadap ke arah utara. Panjang gua tersebut hanya tiga meter, sedangkan lebarnya sekitar 1.30 meter, dengan ketinggian sekitar dua meter. Dengan kata lain, luas gua yang satu ini hanya cukup untuk shalat dua orang, sedangkan di bagian kanan Gua terdapat teras dari batu yang hanya cukup untuk digunakan shalat untuk shalat dalam keadaan duduk.
Kondisi Gua Hira’ yang demikian itu jelas merupakan tempat yang ideal di Makkah bagi Rasulullah Saw. untuk bertahannuts. Suasana yang tenang, jauh dari keriuhan Kota Makkah kala itu, dengan jumlah warganya sekitar lima ribu orang, pandangan yang terbuka ke tempat-tempat di bawahnya, terutama pandangan ke arah Masjid Al-Haram, dan pandangan ke padang pasir luas dan langit nan seakan tanpa batas, dapat dibayangkan dapat memberikan kesempatan bagi beliau untuk “beribadah, berpikir, mengakrabkan diri dalam munajat dengan Allah, dengan menghindari hubungan dengan sesama manusia, serta menyibukkan diri untuk menyingkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi” seperti dikemukakan Al-Ghazali.
Rasulullah Saw. sendiri, yang kala itu merupakan warga Kampung Qusyasyiyyah, tentu telah mempertimbangkan matang pemilihan Gua Hira’ sebagai tempat bertahannuts. Beliau tentu telah memperbincangkan tempat itu dengan istri teladan beliau, Khadijah binti Khuwailid. Malah istri teladan beliau tersebut, di malam yang pekat, pernah beberapa kali mengunjungi Rasul Saw. ketika beliau sedang berada di gua yang tak semua orang kuasa melakukannya itu, dengan menyusuri batu cadas dan kerikil, dengan tujuan agar dapat melayani sang suami tercinta dengan baik. Luar biasa.
Di sisi lain ada yang menyatakan, Gua Hira’ adalah masjid yang tegak sebelum Islam. Prof. Dr. Husain Mu’nis, seorang pakar terkemuka sejarah Islam asal Mesir, misalnya dalam karyanya Al-Masâjid menulis, “Pada umumnya para penulis memulai sejarah masjid dari Masjid Al-Haram, yaitu Rumah Allah pertama yang didirikan untuk umat manusia. Selain itu, masjid tersebut juga sebagai kiblat Ibrahim a.s., Bapak Para Nabi yang menganut agama yang hanîf, dan masjid di mana untuk pertama kalinya Rasulullah Saw. melaksanakan shalat. Namun, semestinya kita merujukkan masjid ke Gua Hira’. Gua itulah sejatinya, tak pelak lagi, masjid yang pertama-tama dalam Islam. Di gua itu pulalah Rasul Saw. melaksanakan shalat, bertahannuts, dan menyembah Allah sebelum beliau menerima wahyu. Demikian halnya di gua itu pulalah ayat-ayat pertama Al-Quran, lima ayat pertama dari Surah Al-‘Alaq, turun. Selain itu, Gua Hira’ juga semestinya dipandang sebagai masjid, walau kehadirannya mendahului masa masjid-masjid. Andaikan tak tepat untuk dikatakan bahwa Rasul Saw. telah bersujud di gua tersebut, selayaknya gua tersebut dapat dikatakan sebagai tempat sembahyang. Seperti diketahui, masjid dapat disebut sebagai tempat sembahyang, seperti halnya pula dapat disebut sebagai tempat ruku‘. Namun, istilah masjidlah yang lebih acap dipakai.” (arofiusmani.blogspot.com/)
Thursday, August 4, 2011
Keistimewaan Bulan Ramadhan
Pada akhir bulan Juni 2011 yang lalu, ketika Allah Swt. mengizinkan penulis berziarah ke Madinah, penulis pun menyempatkan diri ke Raudhah dan Makam Nabi Saw. Alhamdulillah, saat itu Raudhah tidak terlalu penuh dengan para jamaah umrah. Selepas melaksanakan shalat di situ, kedua mata penulis tidak bosan-bosannya mencermati segala sesuatu yang ada di seputar Raudhah dan makam itu. Satu demi satu. Kemudian, ketika kedua mata penulis menatap Mimbar Nabi yang menjadi pembatas Raudhah, tiba-tiba tanpa sadar penulis bergumam, “Bukankah di mimbar itulah beliau, manakala tidak sedang melakukan perjalanan keluar kota, setiap Kamis selepas shalat Subuh (bila Ramadhan selepas shalat Ashar), beliau memberikan pesan dan arahan kepada para sahabat?”
Nah, apakah pesan Rasul Saw. tentang keistimewan Bulan Ramadhan yang beliau sampaikan di mimbar kayu berlantai tiga itu? Berikut pesan dan arahan beliau itu:
Suatu ketika Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau lakukan, berbincang-bincang dengan para sahabat. Selepas berbagi sapa dengan mereka, beliau pun berkata, “Wahai sahabat-sahabatku! Pada setiap malam di bulan Ramadhan, Allah Swt. berfirman kepada malaikat penyeru untuk mengumumkan tiga kali, ‘Adakah orang yang memohon? Jika ada, Aku akan memenuhi permohonannya. Adakah orang yang bertaubat? Jika ada, Aku akan menerima taubatnya. Adakah orang yang memohon ampunan? Jika ada, Aku akan mengampuninya. Dan, siapa yang akan memberi pinjaman kepada Yang Mahakaya yang tak pernah kekurangan dan Yang Maha Memenuhi segala janji-Nya tanpa menguranginya sama sekali?”
Sejenak Rasulullah Saw. berhenti berkata. Beberapa saat kemudian beliau melanjutkan perkataannya, “Wahai sahabat-sahabatku! Pada setiap hari di bulan Ramadhan, Allah Swt. membebaskan dari neraka sejuta ruh yang dipastikan masuk surga. Dan pada hari terakhir bulan Ramadhan, Allah Swt. membebaskan ruh sebanyak-banyaknya sebagaimana Dia membebaskannya dari awal hingga akhir Ramadhan.
Kemudian, jika Lailatul-Qadar tiba, Allah Swt. memerintahkan Malaikat Jibril untuk turun ke bumi bersama serombongan malaikat yang membawa bendera hijau dan menancapkan bendera itu di puncak Ka‘bah. Jibril memiliki seratus sayap, dua sayap di antaranya tidak pernah dibentangkan kecuali pada malam itu. Lalu, Jibril membentangkan kedua sayapnya sehingga menutupi timur dan barat. Malaikat-malaikat akan berjabat tangan dengan rombongan Jibril dan mengamini doa mereka hingga fajar terbit. Ketika fajar telah terbit, Jibril menyeru malaikat-malaikat itu, ‘Wahai para malaikat! Berpencarlah!’ Mereka pun bertanya, ‘Wahai Jibril! Apa yang akan dilakukan Allah Swt. berkenaan dengan pelbagai keperluan ummat Muhammad Saw. yang beriman?”
“Jibril menjawab, ‘Pada malam ini, Allah Swt. memandangi mereka dan memaafkan mereka, kecuali empat kelompok manusia.’”
Sejenak Rasulullah Saw. berhenti berbicara. Melihat hal itu, seorang sahabat bertanya kepada beliau, “Wahai Rasul, siapakah empat kelompok itu?”
“Mereka adalah pecandu minuman keras, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, orang yang memutus silaturahmi, dan orang yang saling bermusuhan!” jawab beliau.
“Wahai Rasul,” tanya sahabat itu lebih lanjut, “siapakah orang yang saling bermusuhan itu?”
“Orang yang saling membenci!” jawab beliau.
Selepas menjawab demikian, Rasulullah Saw. lantas berkata, “Jika malam Hari Idul Fitri tiba, malam itu menjadi Malam Penyerahan Hadiah. Kemudian keesokan harinya, pada Hari Idul Fitri, Allah Swt. mengutus malaikat-malaikat untuk turun ke bumi. Mereka mendatangi setiap penjuru bumi dan menyeru dengan suara yang bisa didengar oleh semua makhluk kecuali jin dan manusia, ‘Wahai ummat Muhammad! Keluarlah menghadap Tuhan kalian Yang Mahamulia. Dia akan mengaruniakan hadiah dan mengampuni dosa-dosa besar kalian!” Apabila mereka datang ke tempat shalat mereka, Allah Swt. pun berfirman kepada malaikat-malaikat tersebut, ‘Apakah balasan bagi pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaannya?’ Para malaikat menjawab, ‘Wahai Tuhan kami, balasannya adalah upah penuh.’
“Maka, Allah pun berfirman, ‘Wahai malaikat-malaikat-Ku! Aku menjadikan kalian sebagai para saksi bahwa Aku telah memberikan balasan kepada mereka, karena puasa mereka pada bulan Ramadhan dan karena shalat (sunnah) malam mereka, dengan ridha dan ampunan-Ku! Wahai hamba-hamba-Ku! Mohonlah kepada-Ku! Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, tidaklah kalian menginginkan sesuatu kepada-Ku di pertemuan ini, untuk akhiratmu, kecuali Aku akan memberimu. Dan, tidaklah kalian menginginkan keperluan duniawimu kecuali Aku akan memandangi kalian. Demi kemuliaan-Ku, sungguh kesalahan-kesalahan kalian akan Kututupi selama kalian takut kepada-Ku. Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku tak kan menghinakan kalian dan aib-aib tidak akan Kuperlihatkan di hadapan orang-orang yang melewati batas. Bertebaranlah kalian membawa ampunan…. Sungguh, kalian telah ridha kepada-Ku dan Aku pun telah ridha kepada kalian!’
“Malaikat-malaikat pun merasa gembira dan bersukacita, karena Allah memberi karunia kepada ummat ini kala mereka sedang berhari raya selepas melaksanakan puasa Ramadhan!
Wednesday, August 3, 2011
Al-Quran dan Perjalanan Ruhaniah Cat Stevens
Bring tea for the Tillerman
Steak for the sun
Wine for the women who made the rain come
Seagulls sing your hearts away
’Cause while the sinners sin, the children play
Oh Lord, how they play and play
For that happy day, for that happy day.
(Cat Stevens, Tea for the Tillerman)
Kemarin pagi, selepas shalat Subuh, ketika sedang menyimak pembacaan Al-Quran secara tartil dan dengan suara nan indah oleh seorang qari’ terkemuka Kuwait, Mishari Rashid Al-‘Afashi, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” ke Inggris. Entah kenapa, tiba-tiba penulis teringat kembali kisah proses keislaman Cat Stevens, seorang penyanyi kondang Inggris yang terkenal antara lain dengan lagu-lagunya: Morning Has Broken, Peace Train, Moonshadow, Wild World, Father and Son, Matthew and Son, Oh Very Young, dan lagu dengan lirik di atas, Tea for the Tillerman. Penulis teringat penyanyi yang lahir di London pada Rabu, 14 Ramadhan 1367 H/21 Juli 1948 M dengan nama kecil Stephen Demetre Georgiou itu, mungkin, karena keislamannya erat kaitannya dengan Al-Quran.
Bagaimanakah kisah keislaman penyanyi kondang yang kini lebih terkenal dengan nama Yusuf Islam itu? Nah, marilah kini kita ikuti kisah perjalanan menuju Islam Cat Stevens sebagaimana ia tuturkan sendiri:
“Ibunda saya (Ingrid Wickman) adalah seorang Swedia yang dibaptis. Sedangkan ayahanda saya (Stavros Georgiou) adalah seorang Yunani berasal dari Siprus. Saya dididik sebagai pemeluk Agama Kristen dan mereka mengajari saya untuk percaya kepada Tuhan. Saya menerima keyakinan itu karena mereka itulah orang tua saya dan saya pandang mereka lebih tahu ketimbang saya. Saya dimasukkan ke sebuah sekolah Katolik Roma yang terletak di pusat Kota London. Dapat dikatakan, sekolah dasar itu sangat berpengaruh terhadap diri saya. Sekolah ini begitu ketat. Sehingga, Jesus begitu memengaruhi saya. Namun, ketika saya belajar lebih lanjut di sekolah yang lebih longgar tata aturannya, saya mulai agak jauh dari gereja. Sejatinya, kala itu pengaruh Jesus masih saya rasakan, walau saya tak mengerti makna Trinitas.
Di sisi lain, dunia luar begitu menarik buat saya. Ketika saya mengenal musik, itulah saatnya saya menjadi pemeluk Kristen nominal, meski ada perasaan bersalah. Namun, secara rasional, ada hal-hal yang menjauhkan saya dari gereja. Saya kemudian sangat tertarik pada musik dan ayahanda membelikan sebuah gitar. Pada usia sekitar 15 tahun saya mulai menulis lagu. Saya pilih nama Cat Stevens dan pada usia 18 tahun saya mulai masuk dapur rekaman. Setahun kemudian saya meraih sukses. Nama saya pun sangat tenar dan rekaman saya laku keras di Eropa. Tapi, pertunjukan panggung ternyata tak cocok buat saya.”
Ternyata, sukses itu membuat Cat Stevens lupa diri. Ia pun menjadi peminum dan perokok berat. Tak lama kemudian, ia terserang tuberculosis dan mesti dirawat lama sekali di rumah sakit. Apa boleh buat, kariernya terhenti. Kala itu, usianya baru sekitar 20 tahun. Saat dirawat itulah ia mulai tertarik pada filsafat Timur. “Gaya hidup yang lagi popular kala itu kan hippies,” kenang Yusuf Islam tentang gejolak ruhaniah yang menerpa dirinya kala itu. “Terutama bagi kalangan anak-anak muda segenerasi saya. Saya lantas memelajari Agama Budha. Ada kepuasan lebih ketimbang dogma kaku gereja. Buku pertama yang mengenalkan saya dengan ranah kejiwaan berjudul The Secret Way. Hal itu mendorong saya untuk terus mencari. Saya lantas menjadi seorang vegetarian, beryoga, dan melakukan meditasi. Ini memang sebuah pilihan lain dari konsep gereja tentang agama. Namun, ternyata pilihan itu tak praktis.”
Bagaimanakah perjalanan ruhaniah selanjutnya tokoh yang pernah menerima World Social Award, Man for Peace Award, doktor honoris causa dari Universitas Gloucestershire dan Universitas Exeter, dan The Mediterranean Prize for Peace itu, hingga akhirnya ia menemukan Islam?
“Lantas, saya pun menelusuri asal usul keluarga saya di Yunani. Saya kemudian memelajari gagasan-gagasan lama dan saya menyukai Pythagoras. Namun, ternyata gagasan-gagasan itu juga tak praktis. Sebab, dalam gagasan-gagasan itu tiada penjelasan tentang bagaimana cara hidup. Akhirnya saya berpikir, tak satu pun agama bisa membantu saya. Kemudian, pada 1975 kakak saya, David, pergi ke Jerusalem. Ia mengunjungi Masjid Al-Aqsha. Sebelumnya, ia tak pernah masuk ke dalam masjid. Ternyata, dalam masjid itu, ia merasakan suasana yang berbeda dengan ketika ia masuk ke dalam gereja maupun sinagog. Sehingga, ia pun bertanya kepada dirinya sendiri, ‘Mengapa agama ini (Islam) bagaikan rahasia besar?’
Ia benar-benar terkejut melihat masyarakat Muslim dan kebahagiaan yang mereka rasakan. Langsung saja ia balik ke Inggris dan kemudian membeli Al-Quran. Kitab itu lantas ia berikan kepada saya. Itulah perkenalan pertama saya dengan Islam. Sebelumnya, saya lebih mengenal Islam sebagai kebudayaan asing daripada sebagai sebuah agama. Lebih dari itu, agama itu bukan milik zaman kita. Namun, ketika membaca Al-Quran, saya tersadar bahwa hanya ada satu Tuhan. Karena itu, hanya ada satu agama.
Selama satu setengah tahun saya memelajari Al-Quran dan mulai mengikuti petunjuknya. Saya kemudian mulai menulis lagu lagi yang merupakan ungkapan kebangkitan ruhaniah saya. Liriknya mirip biografi saya. Albumnya berjudul Tea for the Tillerman. Lewat lagu itu, saya menikmati sukses tingkat dunia. Album itu bagaikan dokumen yang berisi petikan-petikan kisah perjalanan saya menuju Tuhan. Kata-kata dalam Al-Quran yang tadinya nampak asing kini menjadi jelas dan simpel, meski ada yang masih merupakan misteri bagi saya kala itu. Saya percaya, ada Perancang Agung yang menciptakan ini semua. Tapi, siapakah Seniman yang tak kasat mata itu? Saya telah mencoba banyak jalan. Namun, tiada yang memuaskan. Ketika akhirnya saya membaca Al-Quran, saya merasakan kitab suci itu bagaikan diciptakan untuk saya.
Suatu hari saya menemui seseorang. Ia kemudian memberitahu saya, ada sebuah masjid baru yang belum lama dibuka. ‘Inilah saatnya!’ Lantas, pada hari Jumat musim semi 1977, saya pun melangkah ke masjid itu. Usai shalat Jumat, saya menemui Imam dan memberitahukan keinginan saya untuk memeluk Islam. Selepas itu, bukan perkara sulit bagi saya untuk menghentikan kebiasaan buruk di masa sebelumnya, seperti menenggak minuman keras, merokok, dan lain-lain sebagainya. Sebab, saya tahu betul tindakan saya (dalam memeluk Islam) adalah benar. Namun, yang berat adalah mengenai sahabat-sahabat saya. Tidak semuanya memahami pesan Islam. Meski demikian, saya tetap memelihara persahabatan dengan mereka, walau saya harus memutuskan untuk menarik garis yang jelas antara masa silam saya dengan Islam. Dan, saya kini berkarya untuk Allah dan ingin menjadi alat Allah untuk memantapkan Islam di bumi Inggris sejauh kemampuan saya.”
Betapa indah Al-Quran. Sehingga, kandungannya pun kuasa “menaklukkan” hati tokoh yang pada 1428 H/2007 M menerima “Special Award for Life Achievements as Musician and Ambassador between Cultures” itu! (arofiusmani.blogspot.com/)
Subscribe to:
Posts (Atom)