Wednesday, August 3, 2011
Al-Quran dan Perjalanan Ruhaniah Cat Stevens
Bring tea for the Tillerman
Steak for the sun
Wine for the women who made the rain come
Seagulls sing your hearts away
’Cause while the sinners sin, the children play
Oh Lord, how they play and play
For that happy day, for that happy day.
(Cat Stevens, Tea for the Tillerman)
Kemarin pagi, selepas shalat Subuh, ketika sedang menyimak pembacaan Al-Quran secara tartil dan dengan suara nan indah oleh seorang qari’ terkemuka Kuwait, Mishari Rashid Al-‘Afashi, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” ke Inggris. Entah kenapa, tiba-tiba penulis teringat kembali kisah proses keislaman Cat Stevens, seorang penyanyi kondang Inggris yang terkenal antara lain dengan lagu-lagunya: Morning Has Broken, Peace Train, Moonshadow, Wild World, Father and Son, Matthew and Son, Oh Very Young, dan lagu dengan lirik di atas, Tea for the Tillerman. Penulis teringat penyanyi yang lahir di London pada Rabu, 14 Ramadhan 1367 H/21 Juli 1948 M dengan nama kecil Stephen Demetre Georgiou itu, mungkin, karena keislamannya erat kaitannya dengan Al-Quran.
Bagaimanakah kisah keislaman penyanyi kondang yang kini lebih terkenal dengan nama Yusuf Islam itu? Nah, marilah kini kita ikuti kisah perjalanan menuju Islam Cat Stevens sebagaimana ia tuturkan sendiri:
“Ibunda saya (Ingrid Wickman) adalah seorang Swedia yang dibaptis. Sedangkan ayahanda saya (Stavros Georgiou) adalah seorang Yunani berasal dari Siprus. Saya dididik sebagai pemeluk Agama Kristen dan mereka mengajari saya untuk percaya kepada Tuhan. Saya menerima keyakinan itu karena mereka itulah orang tua saya dan saya pandang mereka lebih tahu ketimbang saya. Saya dimasukkan ke sebuah sekolah Katolik Roma yang terletak di pusat Kota London. Dapat dikatakan, sekolah dasar itu sangat berpengaruh terhadap diri saya. Sekolah ini begitu ketat. Sehingga, Jesus begitu memengaruhi saya. Namun, ketika saya belajar lebih lanjut di sekolah yang lebih longgar tata aturannya, saya mulai agak jauh dari gereja. Sejatinya, kala itu pengaruh Jesus masih saya rasakan, walau saya tak mengerti makna Trinitas.
Di sisi lain, dunia luar begitu menarik buat saya. Ketika saya mengenal musik, itulah saatnya saya menjadi pemeluk Kristen nominal, meski ada perasaan bersalah. Namun, secara rasional, ada hal-hal yang menjauhkan saya dari gereja. Saya kemudian sangat tertarik pada musik dan ayahanda membelikan sebuah gitar. Pada usia sekitar 15 tahun saya mulai menulis lagu. Saya pilih nama Cat Stevens dan pada usia 18 tahun saya mulai masuk dapur rekaman. Setahun kemudian saya meraih sukses. Nama saya pun sangat tenar dan rekaman saya laku keras di Eropa. Tapi, pertunjukan panggung ternyata tak cocok buat saya.”
Ternyata, sukses itu membuat Cat Stevens lupa diri. Ia pun menjadi peminum dan perokok berat. Tak lama kemudian, ia terserang tuberculosis dan mesti dirawat lama sekali di rumah sakit. Apa boleh buat, kariernya terhenti. Kala itu, usianya baru sekitar 20 tahun. Saat dirawat itulah ia mulai tertarik pada filsafat Timur. “Gaya hidup yang lagi popular kala itu kan hippies,” kenang Yusuf Islam tentang gejolak ruhaniah yang menerpa dirinya kala itu. “Terutama bagi kalangan anak-anak muda segenerasi saya. Saya lantas memelajari Agama Budha. Ada kepuasan lebih ketimbang dogma kaku gereja. Buku pertama yang mengenalkan saya dengan ranah kejiwaan berjudul The Secret Way. Hal itu mendorong saya untuk terus mencari. Saya lantas menjadi seorang vegetarian, beryoga, dan melakukan meditasi. Ini memang sebuah pilihan lain dari konsep gereja tentang agama. Namun, ternyata pilihan itu tak praktis.”
Bagaimanakah perjalanan ruhaniah selanjutnya tokoh yang pernah menerima World Social Award, Man for Peace Award, doktor honoris causa dari Universitas Gloucestershire dan Universitas Exeter, dan The Mediterranean Prize for Peace itu, hingga akhirnya ia menemukan Islam?
“Lantas, saya pun menelusuri asal usul keluarga saya di Yunani. Saya kemudian memelajari gagasan-gagasan lama dan saya menyukai Pythagoras. Namun, ternyata gagasan-gagasan itu juga tak praktis. Sebab, dalam gagasan-gagasan itu tiada penjelasan tentang bagaimana cara hidup. Akhirnya saya berpikir, tak satu pun agama bisa membantu saya. Kemudian, pada 1975 kakak saya, David, pergi ke Jerusalem. Ia mengunjungi Masjid Al-Aqsha. Sebelumnya, ia tak pernah masuk ke dalam masjid. Ternyata, dalam masjid itu, ia merasakan suasana yang berbeda dengan ketika ia masuk ke dalam gereja maupun sinagog. Sehingga, ia pun bertanya kepada dirinya sendiri, ‘Mengapa agama ini (Islam) bagaikan rahasia besar?’
Ia benar-benar terkejut melihat masyarakat Muslim dan kebahagiaan yang mereka rasakan. Langsung saja ia balik ke Inggris dan kemudian membeli Al-Quran. Kitab itu lantas ia berikan kepada saya. Itulah perkenalan pertama saya dengan Islam. Sebelumnya, saya lebih mengenal Islam sebagai kebudayaan asing daripada sebagai sebuah agama. Lebih dari itu, agama itu bukan milik zaman kita. Namun, ketika membaca Al-Quran, saya tersadar bahwa hanya ada satu Tuhan. Karena itu, hanya ada satu agama.
Selama satu setengah tahun saya memelajari Al-Quran dan mulai mengikuti petunjuknya. Saya kemudian mulai menulis lagu lagi yang merupakan ungkapan kebangkitan ruhaniah saya. Liriknya mirip biografi saya. Albumnya berjudul Tea for the Tillerman. Lewat lagu itu, saya menikmati sukses tingkat dunia. Album itu bagaikan dokumen yang berisi petikan-petikan kisah perjalanan saya menuju Tuhan. Kata-kata dalam Al-Quran yang tadinya nampak asing kini menjadi jelas dan simpel, meski ada yang masih merupakan misteri bagi saya kala itu. Saya percaya, ada Perancang Agung yang menciptakan ini semua. Tapi, siapakah Seniman yang tak kasat mata itu? Saya telah mencoba banyak jalan. Namun, tiada yang memuaskan. Ketika akhirnya saya membaca Al-Quran, saya merasakan kitab suci itu bagaikan diciptakan untuk saya.
Suatu hari saya menemui seseorang. Ia kemudian memberitahu saya, ada sebuah masjid baru yang belum lama dibuka. ‘Inilah saatnya!’ Lantas, pada hari Jumat musim semi 1977, saya pun melangkah ke masjid itu. Usai shalat Jumat, saya menemui Imam dan memberitahukan keinginan saya untuk memeluk Islam. Selepas itu, bukan perkara sulit bagi saya untuk menghentikan kebiasaan buruk di masa sebelumnya, seperti menenggak minuman keras, merokok, dan lain-lain sebagainya. Sebab, saya tahu betul tindakan saya (dalam memeluk Islam) adalah benar. Namun, yang berat adalah mengenai sahabat-sahabat saya. Tidak semuanya memahami pesan Islam. Meski demikian, saya tetap memelihara persahabatan dengan mereka, walau saya harus memutuskan untuk menarik garis yang jelas antara masa silam saya dengan Islam. Dan, saya kini berkarya untuk Allah dan ingin menjadi alat Allah untuk memantapkan Islam di bumi Inggris sejauh kemampuan saya.”
Betapa indah Al-Quran. Sehingga, kandungannya pun kuasa “menaklukkan” hati tokoh yang pada 1428 H/2007 M menerima “Special Award for Life Achievements as Musician and Ambassador between Cultures” itu! (arofiusmani.blogspot.com/)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment