Tuesday, August 2, 2011
Untuk Apa Semua Ibadah Itu?
Di bulan Ramadhan ini, masihkah menulis menjadi “ritual” yang senantiasa penulis lakukan? Tentu. Menulis selepas shalat Subuh, entah kenapa, menjadi saat yang paling favorit bagi penulis. Saat tersebut, otak terasa masih sangat segar. Jemari tangan pun sangat bersemangat diajak “menari” di atas keyboard. Apalagi, bila kegiatan itu diiringi bacaan tartil Al-Quran atau lagu-lagu indah.
Nah, kemarin pagi, selepas shalat Subuh dan ketika jemari penulis sedang asyik “menari” di atas keyboard, tiba-tiba jemari penulis terhenti. Terhenti? Ya, terhenti karena mendengar sebuah lagu Bimbo berjudul, “Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya”:
Ada anak bertanya pada bapaknya
Buat apa berlapar-lapar puasa
Ada anak bertanya pada bapaknya
Tadarus tarawih apalah gunanya
Lapar mengajarmu rendah hati selalu
Tadarus artinya memahami kitab suci
Tarawih mendekatkan diri pada Ilahi
Lihatlah langit keampunan yang indah
Membuka luas dan angin pun semerbak
Nafsu angkara terbelenggu dan lemah
Bunga ibadah dalam ikhlas sedekah
Entah kenapa, mendengar lagu itu, penulis lama termenung dan tercenung serta bergumam, “Betapa indah pertanyaan itu! Ya, untuk apa semua ibadah itu?” Tak lama kemudian, benak penulis melayang-layang ke Madinah, karena teringat kisah berikut yang memberikan jawaban atas pertanyaan menarik tersebut:
Suatu ketika Rasulullah Saw. berbincang-bincang dengan beberapa sahabat beliau. Salah seorang di antara mereka ialah Abu Dzar Al-Ghifari, sahabat beliau yang terlahir dengan nama lengkap Abu Dzar Jundab bin Junadah bin Sufyan Al-Ghifari. Sahabat yang satu ini semula mewarisi karier ayahnya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang melewati jalur perdagangan Makkah-Suriah yang dikuasai suku Ghifar. Meski kerap melakukan perbuatan jahat, hati kecil Abu Dzar sejatinya menolaknya. Akhirnya, dia melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun diserunya untuk berhenti merampok. Namun, kaumnya marah dan memusuhinya. Dia pun pindah ke Nejd bersama ibunya dan saudara laki-lakinya, Unais.
Di tempat yang baru, dia menghadapi penduduk Nejd yang suka berbuat onar. Dia juga berusaha mengajak mereka kepada kebaikan. Namun, penduduk Nejd malah mengusirnya, dan dia pun pindah ke sebuah perkampungan dekat Makkah. Di tempat itulah dia mendengar tentang Nabi Muhammad Saw. dan ajaran Islam. Akhirnya, dia menyatakan keislamannya di depan Ka‘bah, Makkah. Sejak itu, sahabat yang hidup sangat sederhana ini membaktikan hari-harinya untuk Islam. Tugas pertama yang diembankan Muhammad Saw. di pundaknya ialah mengajarkan Islam di kalangan sukunya.
Nah, selepas membincangkan pelbagai hal, Rasulullah Saw. tiba-tiba berpaling ke arah Abu Dzar, sahabat beliau yang senantiasa menentang segala bentuk penumpukan harta itu, dan bertanya kepadanya, “Abu Dzar! Jika engkau bermaksud melakukan perjalanan, bukankah engkau melakukan persiapan?”
“Tentu, wahai Rasul,” jawab Abu Dzar, meski dia belum sepenuhnya tahu ke mana arah pertanyaan Rasulullah Saw. tersebut.
“Lalu, bagaimanakah jika engkau berjalan menuju ke arah Hari Kiamat? Tidak inginkah engkau kuberi tahu, wahai Abu Dzar, persiapan apa yang bermanfaat bagimu untuk menyambut hari itu?” tanya beliau.
“Tentu, ingin sekali, wahai Rasul. Demi ayah dan ibuku!” jawab Abu Dzar dengan antusias.
“Abu Dzar!” tegas beliau menjelaskan. “Berpuasalah pada hari yang sangat terik sebagai bekal pada Hari Kebangkitan! Lakukanlah dua rakaat di dalam kekelaman malam sebagai bekal bagi kepekatan kubur! Tunaikanlah ibadah haji sekali sebagai bekal untuk menghadapi urusan-urusan besar! Bersedekahlah dengan sesuatu kepada orang miskin, atau dengan perkataan benar yang engkau ucapkan, atau dengan perkataan buruk yang engkau tahan untuk tidak engkau ucapkan!”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment