Monday, August 15, 2011

1401 Tahun yang Silam


Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).

Tadi malam, ketika menyaksikan penyerahan Ahmad Bakrie Award 2011 (di TVOne), kepada para peraih hadiah tersebut, entah kenapa kepala penulis tiba-tiba menunduk dan benak melayang ke Gua Hira’, Makkah Al-Mukarramah. Kepala menunduk karena teringat kembali sejarah turunnya wahyu kepada Rasul Saw. Yang terbayangkan dalam benak penulis: betapa beda sekali suasana 1401 tahun silam, ketika Rasul Saw. pertama kali menerima wahyu, dengan suasana penerimaan award tersebut yang mewah, meriah, dan gemerlap itu. Tentu dapat dibayangkan, kala di puncak Jabal Nur, beliau kala itu sendirian, sementara suasana sekeliling sangat sunyi, langit sangat cerah (kala itu bulan September), dan hawa di sekitar Makkah mulai segar. Dengan suasana demikian, tentu pula dapat dibayangkan betapa beliau sangat kaget ketika tiba-tiba Jibril muncul di hadapan beliau. Bagaimanakah lembaran sejarah menorehkan kejadian luar biasa di puncak Jabal Nur pada 1401 tahun yang silam?

Bulan itu adalah bulan Ramadhan tahun kelima selepas pemugaran Ka‘bah dan kelahiran Fathimah Al-Zahra’. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Rasul Saw. kembali meninggalkan rumahnya menuju Gua Hira’ seperti yang biasa beliau lakukan setiap tahun. Beliau berjalan sendiri melintasi pinggiran Kota Makkah seraya berpikir tentang keagungan Allah, kekuasaan-Nya, dan keindahan ciptaan-Nya. Jiwanya saat itu kian matang.

Ketika itu Rasul Saw. kian yakin, masyarakatnya telah menyimpang jauh dari jalan yang lurus dan kehidupan ruhaniah mereka telah rusak karena tunduk pada khayalan berhala-berhala dan pelbagai kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua ajaran yang telah pernah dikemukakan oleh masyarakat Yahudi dan umat Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu. Apa yang mereka sampaikan masih mengandung aneka ragam takhayul dan pelbagai ragam kemusyrikan yang tak mungkin seiring dengan kebenaran sejatinya, kebenaran mutlak sederhana yang tidak mengenal segala bentuk spekulasi dan perdebatan kosong yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Kebenaran itu adalah Allah, Sang Pencipta semesta alam, tiada Tuhan selain Dia. Kebenaran itu adalah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu adalah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya, “Barang siapa melakukan kebajikan seberat zarah pun, ia akan melihatnya! Dan, barang siapa melakukan kejahatan seberat zarah pun, ia akan melihatnya.” (QS Al-Zalzalah [99]: 7-8).

Jauh dari orang lain dan berhadapan langsung dengan alam, Rasul Saw. kala itu memang senantiasa berusaha mencari makna dan kedamaian. Beliau tidak pernah mengikuti ibadah penyembahan berhala, tidak meyakini kepercayaan dan ritual suku-suku di wilayahnya, dan menjauhi segala bentuk takhayul dan buruk sangka. Beliau terlindung dari tuhan-tuhan palsu. Baik dalam bentuk penyembahan terhadap berhala maupun penghambaan terhadap kekuasaan dan kekayaan. Beberapa kali beliau bercerita kepada istrinya, Khadijah, perihal mimpi yang ternyata benar, yang membuat beliau terganggu karena meninggalkan kesan yang sangat kuat selepas beliau terbangun. Itulah pencarian-kebenaran sejati: tidak puas dengan jawaban orang-orang di sekelilingnya, dan terdorong oleh keyakinan mendalam bahwa beliau harus mencari jawaban lebih lanjut.

Usia Rasul Saw. kala itu telah mendekati empat puluh tahun. Kala itu sendiri, beliau telah mencapai titik perkembangan ruhaniah yang menuntut introspeksi mendalam untuk mencapai titik berikutnya. Sendirian di dalam Gua Hira’, beliau merenungkan makna kehidupannya, kehadirannya di dunia, dan pelbagai penanda yang telah mengiringinya sepanjang hidupnya. Bentangan cakrawala di sekelilingnya mungkin mengingatkannya pada suasana masa kecilnya. Bedanya, kini kedewasaan telah memenuhinya dengan pelbagai pertanyaan eksistensial mendasar.

Rasul Saw. kala itu sedang mencari. Dan, pencarian ruhaniah ini secara alamiah menuntunnya menuju sebuah panggilan yang secara tidak langsung, namun pasti telah ditunjukkan oleh penanda-penanda yang beliau saksikan sepanjang hidupnya. Beragam penanda yang telah melindungi dan menenangkan hatinya, visi yang pertama kali muncul dalam mimpi-mimpinya, yang kemudian menjelma dalam hidupnya, dan pelbagai pertanyaan yang melintasi hati dan pikirannya yang bertautan dengan cakrawala yang terbentang di alam, telah mengantarkannya pada inisiasi tertinggi menuju makna, pada perjumpaan dengan Pendidiknya, Allah Yang Maha Esa. Saat berusia empat puluh tahun, siklus pertama kehidupannya berakhir.

Lantas hari itu, tepatnya pada Ramadhan 610 M (hari Senin, 17 Ramadhan, menurut Muhammad bin Sa‘d), Rasul Saw. sedang khusyuk bertafakur di Gua Hira’. Tiba-tiba beliau mendengar suara yang menggema sangat kuat di seluruh dinding gua memanggilnya. Suara itu seakan datang dari atas. Lalu, tampak di hadapannya sesosok tubuh besar seakan memenuhi gua. Sosok yang diselubungi cahaya berpendar menyilaukan itu lantas berucap tegas, “Wahai Muhammad! Engkaulah utusan Allah.”

Rasul Saw. pun berlutut. Perasaan takut menyergap kuat dirinya. Sosok itu kemudian berucap lagi, “Wahai Muhammad! Aku adalah Jibril dan engkau adalah utusan Allah!” Lalu, sosok itu memperlihatkan kepada beliau sebuah lembaran yang terlipat dalam kain sutra dan memerintahkan kepadanya, “Bacalah!” “Aku tidak kuasa membaca,” jawab beliau terbata-bata dan kebingungan. Mendengar jawaban beliau yang demikian, Jibril lantas memeluknya kuat. Lalu, Jibril melepaskannya seraya berucap keras, “Bacalah!” “Aku tidak kuasa membaca,” jawab beliau kian kebingungan. Jibril memeluknya sekali lagi. Kuat sekali. Hingga beliau hampir tak kuasa bernapas. Lalu, Jibril kembali berucap keras, “Bacalah!” Karena khawatir Jibril akan memeluknya dengan sangat kuat lagi, beliau pun menjawab, “Apa yang harus kubaca?”

Ternyata, Jibril tetap memeluknya. Sekuat pelukan sebelumnya. Lalu, Jibril membacakan, “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).

Rasul Saw. kemudian mengejanya, dituntun Jibril yang kemudian segera meninggalkannya dengan tiada hentinya berpesan kepadanya, “Wahai Muhammad! Engkaulah utusan Allah.”

Pengalaman pertama kali menerima wahyu ini sungguh luar biasa, hingga menggetarkan hati dan pikiran Rasul Saw. Wahyu itu juga disertai dengan kepastian bahwa pengantar wahyu itu adalah malaikat dan bukan kekuatan psikis atau jinn. Wahyu yang turun itu menggema ke seluruh semesta alam dan mengubah suasana di sekitar beliau. Gema itu menimpa beliau seakan suatu pukulan, dan beliau mendengar kegaduhan keras dan bertalu laksana beribu suara genta. Selama dua puluh tiga tahun selepas kejadian di Gua Hira’ itu, kapan saja menerima wahyu, beliau senantiasa merasakan tekanan hebat. Beliau akan berkeringat dan manakala beliau sedang naik unta atau kuda, hewan-hewan itu pun terbungkuk di bawah tekanan titah yang turun dari Allah Swt.

Di sini timbul pertanyaan, mengapa Rasul Saw. yang menerima titah Allah Swt. justru tak kuasa membaca (ummiy)?

Seyyed Hossein Nasr, dalam karyanya Muhammad Man of Allah, menjawab pertanyaan yang demikian, menulis, “Untuk memahami doktrin fundamental ini, perlu sekali diingat bahwa wahyu bukan sebuah produk pikiran Nabi Muhammad Saw. Tapi, wahyu diturunkan dari langit kepada beliau. Al-Quran bukan kata-kata beliau, tapi titah Allah. Beliau hanyalah salurannya. Watak tidak kuasa membaca beliau berarti bahwa sebelum firman Allah dapat diterimakan, maka wadah manusianya haruslah murni dan bening. Allah tak begitu saja menulis di atas sembarang lembaran. Untuk itu disyaratkan hati yang murni, ruh dan pikiran yang tak ternoda oleh ajaran manusia, agar mampu berfungsi sebagai lembaran yang menerima titah Allah. Jika seseorang memahami arti wahyu dan kesempurnaan transendensi ketuhanan di atas segala-galanya yang serba manusiawi dan kesempurnaan tindakan Allah serta manusia penerimanya, maka orang itu akan memahami mengapa Nabi Muhammad Saw. tak dapat lain kecuali tidak kuasa membaca. Betapa pun pedas kritik para cendekiawan Barat modern mengenai sisi ini, tidaklah itu apa-apa, karena mereka menolak menerima kenyataan wahyu dan perbedaan kualitas antara titah Allah dengan manusia yang menjadi wadahnya.”

Selepas turunnya wahyu itu, Rasul Saw. (saat itu ia berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut tahun Bulan/Qamariyyah atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurun tahun Matahari/ Syamsiyyah) segera pulang menuju rumah beliau di kegelapan dini hari, dalam keadaan takut, pucat, dan sendi-sendinya gemetar. Dan, ketika sampai di kamar istri beliau, Khadijah binti Khuwailid, beliau merasa berada di tempat yang aman. Kemudian beliau menceritakan kepada istrinya, dengan suara gemetar, segala sesuatu yang telah terjadi. Beliau curahkan kepada istrinya segala hal yang membuatnya ketakutan dan meminta agar dirinya diselimuti.

Khadijah binti Khuwalid, sang istri teladan, pun merangkul dan mendekap sang suami tercinta di dadanya. Roman mukanya membangkitkan sifat keibuan yang telah berakar kuat di hatinya. Ia kemudian berucap dengan suara lirih dengan segenap keteguhan dan keyakinan, “Kiranya Allah memelihara kita, wahai Abu Al-Qasim! Bergembiralah wahai putra pamanku. Tenanglah. Demi Zat yang menguasai diri Khadijah, aku berharap engkau akan menjadi nabi umat ini. Demi Allah, sungguh Allah tak akan menghinakanmu selamanya. Bukankah engkau suka bersilaturahmi, senantiasa berkata jujur, suka menolong orang yang kesusahan, senantiasa menghormati tamu, dan senantiasa membantu orang yang tertimpa musibah.”

Rona kegembiraan pun mewarnai wajah Muhammad Saw. yang kini telah diangkat sebagai Nabi Allah (Nabiy Allâh). Sedikit demi sedikit rasa takutnya sirna. Suara sang istri yang merdu lagi penuh kasih sayang pun menyelinap seiring dengan berpendarnya cahaya fajar ke dalam relung hati beliau, menebarkan keyakinan, rasa aman, dan tenang dalam diri beliau. Kala sang istri teladan menuntun Nabi Saw. ke tempat tidur. Ia menidurkan beliau seperti yang dilakukan seorang ibu terhadap anak yang disayanginya. Ia pun menghibur beliau dengan suaranya yang merdu, seolah ia menebarkan mimpi yang indah di pembaringan beliau. Dan, kemudian, ia sangat merasa puas melihat suaminya tercinta tertidur pulas. Ia pun memperhatikan suaminya dengan penuh rasa cinta, kasih sayang, dan kekaguman.

Kejadian itu sendiri, di sisi lain, kian mengukuhkan keistimewaan Khadijah binti Khuwailid: betapa ia begitu tenang dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sangat kritis. Begitu pula jawabannya kepada suaminya tercinta berkenaan dengan suatu masalah yang bahkan akan menggetarkan para lelaki perkasa dan tentu akan menghadirkan rasa takut pada diri perempuan mana pun. Suatu jawaban yang keluar dari kepribadian seorang istri teladan yang sangat matang dan yakin bahwa suami yang dicintainya adalah orang yang kelak akan mendapatkan kabar gembira berupa kenabian dan wahyu dari langit. (arofiusmani.blogspot.com/)

No comments: