Saturday, August 13, 2011
Pergulatan Ruhaniah Leopold Weiss
Menulis dan membaca, itulah dua kegiatan yang senantiasa “melekat” dengan diri penulis, alhamdulillah. Juga, di bulan Ramadhan 1432 H ini. Nah, kemarin, selepas capai menulis, tiba-tiba mata penulis terarah ke sebuah buku memikat yang disusun seorang Imam asal Indonesia di New York, Amerika Serikat: Imam M. Shamsi Ali. Segera, buku itu penulis ambil dan simak dengan cermat. Dalam buku yang berjudul Dai Muda di New York City itu ditampilkan proses keislaman beberapa saudara seiman kita dari negara adikuasa tersebut.
Entah kenapa, ketika membaca buku tersebut, tiba-tiba penulis teringat pergulatan ruhaniah Leopold Weiss menuju Islam. Lembaran sejarah menorehkan, selepas memeluk Islam, Leopold Weiss memilih nama: Muhammad Asad. Tokoh yang satu ini, kemudian terkenal sebagai seorang pemikir dan tokoh Muslim terkemuka yang pernah menjabat wakil tetap Pakistan di PBB. Tokoh yang satu ini lahir di Lvov (orang Jerman menyebutnya Lemberg), Polandia pada Senin, 4 Rabi‘ Al-Awwal 1318 H/2 Juli 1900 M. Ketika ia berusia 14 tahun, keluarganya pindah ke Wina, Austria. Lantas, ketika menjadi mahasiswa di Universitas Wina, anak keturunan keluarga para rabi ini menjadi reporter sejumlah harian berbahasa Inggris dan Jerman. Kemudian, ia dikirim Franfurter Allgemeine Zeitung, salah satu koran paling bergengsi di Jerman dan Eropa saat itu, ke Palestina, Suriah, Irak, Iran, Afghanistan, dan Arab Saudi. Pada 1345 H/1926 M sahabat karib Raja ‘Abdul ‘Aziz Al Sa‘ud ini memeluk Islam.
Bagaimanakah “kisah dan perjalanan” Muhammad Asad menuju Islam?
“Suatu hari-tepatnya pada September 1926-Elsa dan saya sedang menikmati perjalanan naik kereta bawah tanah di Berlin,” ucap Muhammad Asad, seperti diceritakan kembali oleh Ismail Ibrahim Nawab dalam tulisannya “From Berlin to Makkah” (Saudi Aramco World, Januari/Februari 2002). “Kami naik di kompartemen untuk kelas menengah atas. Tiba-tiba pandangan saya terarah kepada seorang pria di depan saya. Pria itu mengenakan busana rapi. Tampaknya, ia adalah seorang pengusaha kaya...Saat itu, entah kenapa dalam benak saya timbul pikiran iseng: orang di depan saya itu benar-benar merupakan gambaran tepat kemakmuran yang saat itu dapat ditemukan di mana saja di Eropa Tengah...Sebagian besar orang saat itu mengenakan busana indah dan menikmati makanan yang melimpah. Termasuk orang di depan saya itu.
Namun, ketika saya menatap wajah orang itu, saya merasa wajahnya nampak tidak memancarkan kebahagiaan. Kedua matanya kosong dan memandang ke arah jauh, sedangkan kedua sudut bibirnya tertarik seakan ia sedang kesakitan. Padahal, tubuhnya tampak sehat. Tak ingin dipandang sebagai orang yang berperilaku kasar, saya pun memalingkan pandangan ke samping orang itu. Ternyata, di sampingnya duduk seorang perempuan yang berpenampilan anggun. Ternyata, wajah perempuan itu pun memancarkan ketidakbahagiaan. Tampaknya, ia sedang merenungkan atau mengalami sesuatu yang membuat ia kesakitan. Selepas itu, saya pun mulai mencermati satu demi satu wajah orang-orang yang berada dalam kompartemen itu: wajah orang-orang yang mengenakan busana indah dan menikmati makanan melimpah. Ternyata, nyaris wajah setiap orang memancarkan rasa sakit tersembunyi. Rasa sakit tersembunyi yang tak disadari sang pemilik wajah. Kesan yang saya dapatkan itu demikian kuat. Sehingga, hal itu kemudian saya ceritakan kepada Elsa. Ia pun mulai memandang ke sekeliling, dengan pandangan seorang pelukis yang sangat cermat dalam mengamati sosok manusia. Kemudian, ia berpaling ke arah saya dengan perasaan heran dan berucap, ‘Betul engkau. Mereka nampak seakan sedang merasakan siksaan neraka...Saya bingung, apakah mereka tahu apa yang sedang terjadi pada diri mereka sendiri?’
Saya tahu, mereka tak menyadari keadaan yang sedang “menyergap” diri mereka. Tentu, mereka tak akan kuasa membersihkan kehidupan mereka tanpa memiliki keyakinan apa pun yang teguh, tanpa tujuan hidup apa pun di luar keinginan untuk meningkatkan “standar kehidupan”, tanpa harapan apa pun selain memiliki lebih banyak kekayaan material, lebih banyak peralatan, dan barang kali juga lebih banyak kekuasaan...
Ketika tiba di rumah, tanpa sengaja pandangan saya terarah pada sebuah kitab Al-Quran yang sebelumnya pernah saya baca. Tanpa sadar, kitab suci itu saya ambil. Begitu saya buka lembaran kitab suci itu, kedua mata saya pun terarah pada halaman yang terbuka di hadapan saya. Dan, saya pun membaca, “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, hingga kalian masuk ke dalam kubur. Jangan begitu! (Karena) kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian). Jangan begitu! (Karena) kelak kalian akan mengetahui. Jangan begitu! Jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka Jahim, dan sungguh kalian benar-benar akan melihatnya dengan sebenar-benarnya. Kemudian, pada hari itu, kalian pasti akan ditanya tentang kenikmatan (yang kalian megah-megahkan di dunia).” (QS Al-Takâtsur [102]: 1-8)
Sejenak, saya tak kuasa berkata. Sepatah kata pun tak kuasa. Saya rasakan, kitab suci itu bergetar di tangan saya. Kemudian, kitab itu saya serahkan kepada Elsa seraya berucap, ‘Bacalah ayat-ayat ini. Bukankah ayat-ayat ini merupakan jawaban atas hal-hal yang kita saksikan di kereta api bawah tanah tadi? Ayat-ayat ini merupakan jawaban pasti, sehingga semua keraguan kita kini tiba-tiba akhirnya sirna.’
Kini, saya tahu, di balik keraguan sebelumnya, kitab yang diwahyukan Tuhan yang kini berada di tangan saya ini jelas-jelas telah mengantisipasi sesuatu yang benar-benar terjadi hanya di masa kita yang begitu kompleks, bercorak mekanis, dan sarat dengan gejolak ini, walau kitab ini diturunkan lebih dari tiga belas abad yang silam. Memang, sepanjang masa manusia dikenal rakus. Namun, sebelumnya, kerakusan hanya berbentuk keinginan kuat untuk merengkuh sesuatu. Sedangkan kini, kerakusan telah menjadi obsesi yang mewarnai pandangan terhadap segala sesuatu: keinginan untuk memiliki sesuatu yang tak tertahankan, untuk melakukan sesuatu, dan mengangan-angankan lebih dan lebih-hari ini lebih daripada kemarin dan hari esok lebih ketimbang hari ini. Dan, kelaparan tersebut merupakan kelaparan yang tak pernah terpuaskan terhadap segala tujuan yang membara dalam jiwa manusia, “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, hingga kalian masuk ke dalam kubur…”
Menurut saya, ayat-ayat itu tak mungkin merupakan kata bijak seorang pria dari Semenanjung Arab di masa silam itu. Sebijak apa pun ia, pria itu tak mungkin meramalkan nestapa aneh yang menimpa abad ke-20 ini. Sesuatu yang dikemukakan Al-Quran jauh lebih agung dari pada ucapan Muhammad...”
Semenjak itu, Leopold Weiss pun berhasrat menjadi seorang Muslim. Kemudian, ia menyatakan keislamannya di hadapan seorang tokoh masyarakat Muslim kecil di Berlin. Ia pun mengubah namanya menjadi Muhammad, sebagai penghormatan kepada Nabi Saw., dan Asad, yang berarti “Singa”, sebagai pengingat nama kecilnya “Leopold”. “Islam,” menurutnya, “masuk ke dalam relung kalbu saya laksana seorang pencuri yang memasuki sebuah rumah di tengah malam. Namun, Islam masuk untuk terus menetap selamanya. Tidak seperti seorang pencuri yang masuk rumah seseorang untuk kemudian dengan tergesa-gesa keluar lagi.”
Kemudian, selepas menikah dengan Elsa Scheimann, Muhammad Asad pun naik haji. Ternyata, ketika berada di Tanah Suci, ia “menghadapi ujian”: selepas sembilan hari berada di Tanah Suci, sang istri tercinta yang mantan model itu, Elsa, berpulang dan dikebumikan di Makkah. Walau mendapatkan ujian demikian, ia tetap “tidak berbalik langkah”. Selepas itu, ia tetap mengabdikan dirinya untuk Islam hingga berpulang di Spanyol pada Senin, 19 Ramadhan 1412 H/23 Februari 1992 M. Jenazah tokoh yang meninggalkan sejumlah karya tulis, antara lain Unromantisches Morgenland (The Unromantic East), Islam at the Crossroads, The Road to Mecca, The Principles of State and Government in Islam; Sahih Al-Bukhari: The Early Years of Islam, The Message of the Qur’an, dan This Law of Ours itu dikebumikan di Kota Granada, Spanyol.
“Betapa menawan “pergulatan ruhaniah” Muhammad Asad itu,” ucap pelan penulis seraya merenung. Sejatinya, “pergulatan ruhaniah” Muhammad Asad tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu contoh menarik tentang suatu fenomena yang kerap terjadi di masa modern kini: kisah kegelisahan dan peralihan agama sederet tokoh dan intelektual Barat ke dalam pelukan Islam, selepas mereka melintasi “pergulatan ruhaniah” lama yang menawan. Di antara mereka, antara lain, adalah Lord Stanley of Alderley, salah seorang paman Bertrand Russell, Baron ke-11 Headley, Muhammad Marmaduke Pickthall, Martin Lings, Charles Le Gai Eaton, René Guénon, Classius Clay, Vincent Mansour Monteil, Malcolm X, Roger Garaudy, Maurice Bucaille, Murad Wilfried Hofmann, Baron Umar von Ehrenfels, Abdul Karim Germanus, Frithjof Schuon, Thomas Irving, Margaret Marcus, Cyril Glassé, Jeffrey Lang, Michael Wolfe dan lain-lain.(arofiusmani.blogspot.com/)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment