Saturday, August 27, 2011

Dicari: Orang yang Memiliki Sikap Berbeda


Tadi malam, selepas melaksanakan shalat tarawih, entah kenapa tiba-tiba dalam benak penulis membara hasrat untuk menulis. Tetapi, sayangnya, walau tangan masih cekatan “menari”, kedua mata penulis ternyata enggan diajak “menari” bersama. Karena itu, segera laptop pun penulis matikan. Nah, begitu laptop mati, ternyata ganti kedua mata itu yang begitu bersemangat “menari-nari” di antara deretan buku yang ada di rak buku. Selepas beberapa lama “menari-nari” di antara deretan buku, entah kenapa kedua mata itu tiba-tiba berhenti bergerak dan kemudian menatap tajam ke sebuah buku dengan judul Nasihat Al-Muluk, Nasihat kepada Raja-raja. Buku itu merupakan hasil goresan tangan seorang ulama, pemikir, dan sufi kondang di Masa Pertengahan, Abu Hamid Al-Ghazali.

Segera, benak penulis pun “melayang-layang”. Segera pula penulis teringat, buku itu merupakan hadiah dari seorang sahabat, seorang dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta dan kandidat doktor di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Buku yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia tersebut, menurut Dr. Jelani Harun dalam kata pengantar karya itu, masuk dalam genre “Mirror for Princess”. Lebih jauh Dr. Jelani Harun menyatakan, dari sisi sejarah genre “Mirrors for Princes” telah lama hadir dalam tradisi keilmuan Islam. Antara lain lewat karya seperti Kitâb Al-Sulthân, oleh Ibn Qutaibah, Kitâb Al-Tâj, oleh Al-Jahizh, dan beberapa karya lain.

Sementara menurut C.E. Bosworth, dalam tulisannya “An Early Arabic Mirrors of Princess: Tahir Dhul-Yaminain’s Epistle to His Son Abdallah (206 H/821 M)”, penulisan genre “Mirrors for Princes” dalam kesusastraan Arab telah bermula semenjak awal tahun 205 H/820 M, melalui karya Kitâb Al-Baghdâd oleh Ibn Thaifur. Pada 516 H/1122 M, karya “Mirrors for Princess” dalam tradisi Arab terus berkembang dengan kelahiran Sirâj Al-Mulûk oleh Al-Turthusi. Perkembangan genre “Mirrors for Princess” mencapai puncaknya sekitar abad ke-10 dan ke-11 M, melalui tiga karya Persia yang cukup terkenal, yaitu Siyasatnama/Siyâr Al-Mulûk (409-485 H/1018-1092 M) oleh Nizham Al-Muluk, Qabusnama (475 H/1082 M) oleh Kay Kaus bin Iskandar, dan Nasîhâh Al-Mulûk oleh Al-Ghazali (450-504 H/1058-1111 M).

Nah, berikut adalah salah satu contoh genre “Mirror for Princess” tersebut:

Resah dan gelisah, itulah kondisi batin Harun Al-Rasyid tidak lama selepas menjabat khalifah, atau orang nomor satu, Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Kala itu, selama berhari-hari, betapa ia senantiasa resah karena satu masalah yang mengganjal dalam hatinya: seorang ulama terkemuka dan mulia yang ia segani tidak kunjung menyampaikan ucapan selamat kepadanya, seperti halnya ulama-ulama yang lain. Alih-alih datang ke istananya. Padahal, sebelum menjabat khalifah, ia sangat akrab dan dekat dengan ulama yang satu itu. Tapi, kini, selepas ia menjadi penguasa, ulama yang bermukim di Kufah itu hilang seakan ditelan bumi dan tidak pernah bertandang kepadanya lagi. Ulama itu tidak lain adalah Sufyan Al-Tsauri.

Ulama yang sangat disegani Harun Al-Rasyid itu adalah seorang tabi‘in yang ahli hukum Islam dan sufi terkemuka pada abad ke-2 H/8 M. Lahir di Kufah pada 97 H/715 M, ia bernama lengkap Abu ‘Abdullah Sufyan bin Sa‘id bin Al-Mundzir Al-Tsauri Al-Kufi. Sesuai dengan tradisi yang berkembang kala itu, ia mula-mula menimba ilmu kepada ayahandanya. Usai mendapat “pembinaan” dari sang ayahanda, tokoh yang pernah menyatakan bahwa “barang siapa kikir dengan ilmu yang dimilikinya, sejatinya ia mengharapkan tiga petaka: lupa akan ilmunya, mati tanpa sempat memanfaatkan ilmunya, atau kehilangan buku-bukunya” ini lantas memperdalam ilmu kepada sejumlah ulama, antara lain kepada Al-Hasan Al-Bashri. Usai memperdalam ilmu kepada sejumlah ulama, namanya segera mencuat sebagai ahli hukum Islam yang berwawasan luas dan mandiri. Tidak aneh bila di bidang ini, nama ahli hukum yang menopang penghidupannya dengan berdagang ini dapat disejajarkan dengan para mujtahid terkemuka. Namun, ia tidak hanya seorang pakar di bidang hukum Islam semata. Ia juga terkenal sebagai seorang pakar hadis yang menuturkan banyak hadis. Tidak aneh, karena kepakarannya di bidang terakhir ini, ulama yang sangat berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah ini mendapat julukan “Amir Al-Mu’minin” di bidang hadis.

Atas saran pelbagai pihak, Harun Al-Rasyid akhirnya menulis sepucuk surat kepada Sufyan Al-Tsauri:

Bismillâhirrahmanirrahim.

Dari hamba Allah, Harun Al-Rasyid, Amir Al-Mukminin, kepada saudaranya, Sufyan bin Sa‘id bin Al-Mundzir Al-Tsauri.

Wahai saudaraku! Engkau tentu tahu, Allah Swt. telah mempersaudarakan di antara orang-orang beriman. Dia menjadikan hal yang demikian itu di jalan-Nya dan karena-Nya. Perlu engkau ketahui, aku telah mempersaudarkan diriku denganmu dengan tali persaudaran yang tidak akan kuputuskan selamanya dan kasih sayang yang timbul darinya tidak akan kupotong apa pun halnya. Kesenanganku berkumpul denganmu lebih tinggi daripada kesenangan dan keinginan terbaik. Andai tiada belenggu (jabatan) ini, yang dibebankan Allah Swt., tentu akan kudatangi tempatmu, karena rasa cinta yang terpancang kuat dalam hatiku kepadamu. Walau dengan merangkak sekali pun.

Wahai Abu ‘Abdullah! Ketahuilah, tiada seorang pun di antara teman-temanku dan teman-temanmu yang belum bertandang kepadaku untuk mengucapkan selamat kepadaku, karena jabatan yang kini kupangku. Aku telah membuka sejumlah bait al-mâl. Aku pun telah memberikan pelbagai hadiah kepada mereka. Semua itu begitu menggembirakan hatiku dan menyedapkan mataku. Sungguh, aku menanti kedatanganmu yang amat terlambat. Tapi, hingga pun kini, ternyata engkau tidak kunjung bertandang juga. Karena itu, kutulis surat ini kepadamu. Hatiku begitu rindu kepadamu.

Wahai Abu ‘Abdullah! Engkau tentu tahu ajaran agama perihal keutamaan orang beriman, kunjungannya, dan silaturahmi. Karena itu, manakala surat ini telah sampai kepadamu, segeralah bertandang kepadaku.

Wassalâmu ‘alaikum wa Rahmatullâh wa Barakâtuh.


Ketika menerima surat itu, dan mengetahui isinya, Sufyan Al-Tsauri, yang tidak mau menyentuh sama sekali surat itu, lantas berucap kepada orang yang membacakan surat itu, “Baliklah surat itu! Tulis jawabannya kepada orang zalim itu di baliknya!”
“Wahai Abu ‘Abdullah,” ucap seseorang yang hadir kala itu mencoba meredakan rasa tidak senang Sufyan Al-Tsauri kepada Harun Al-Rasyid selepas menjadi khalifah. “Ia seorang khalifah, lo. Bagaimana kalau jawaban itu ditulis di selembar kertas bersih yang belum ada tulisannya?”
“Tulislah jawaban kepada orang zalim itu di balik surat itu!” sahut ulama yang berpulang ke hadirat Allah di Makkah pada 161 H/778 M itu dengan suara melengking. “Bila kertas itu didapatkan dari harta halal, tentu amalnya akan dibalas Allah Swt. Sedangkan bila kertas itu didapatkannya dari harta haram, tentu ia akan dimasukkan ke dalam neraka. Dan, tiada sesuatu pun yang disentuh orang zalim dan diserahkan kepada kita melainkan akan merusakkan agama kita!”
“Apakah yang kami tulis?”

Sufyan Al-Tsauri lantas mendiktekan sebagai berikut:

Bismillâhirrahmanirrahîm.

Dari hamba Allah yang berdosa, Sufyan bin Sa‘id bin Al-Mundzir Al-Tsauri, kepada seorang hamba Allah yang banyak berangan-angan dan mencabut manisnya iman seseorang, Harun Al-Rasyid.

Ammâ ba‘d. Sungguh, lewat tulisan ini kuberitahukan kepadamu, sejatinya silaturahmi denganmu telah kuputuskan. Juga, kecintaan kepadamu telah kupotong. Aku sangat tidak suka terhadap jabatan yang kini kaupangku. Engkau pun telah menjadikan aku sebagai saksi atas dirimu, dengan pengakuanmu atas dirimu dalam suratmu, dengan seranganmu terhadap bait al-mâl kaum Muslim. Engkau telah membelanjakannya di jalur yang bukan yang semestinya dan telah menghabiskannya untuk hal-hal yang tidak selaras dengan ketentuannya. Kemudian, engkau merasa tidak senang dengan yang kulakukan, sedangkan engkau jauh dariku, hingga engkau torehkan surat kepadaku. Engkau jadikan aku saksi atas dirimu. Sungguh, aku telah bersaksi atas dirimu dan teman-temanku yang menyaksikan pembacaan suratmu. Kesaksian itu akan kami tunaikan atas dirimu. Kelak di hadapan Allah Swt.

Wahai Harun! Engkau telah menyerang bait al-mâl kaum Muslim tanpa kerelaan mereka. Akan relakah, akibat tindakanmu itu, para muallaf, para pejuang di jalan Allah, dan para musafir? Akan relakah, akibat tindakanmu itu, para pendukung Al-Quran, para ulama, perempuan-perempuan janda, dan anak-anak yatim? Akan relakah, akibat tindakanmu itu, khalayak ramai dari kalangan rakyatmu? Karena itu, wahai Harun, ikatlah kainmu! Sediakanlah jawaban untuk setiap pertanyaan.

Wahai Harun! Ketahuilah, engkau akan berdiri di hadapan Hakim Yang Mahaadil. Sungguh, engkau telah menanam bahaya terhadap dirimu sendiri. Ini, karena engkau telah meniadakan manisnya ilmu, kezahidan, kelezatan Al-Quran, dan pergaulan dengan orang-orang pilihan. Engkau relakan dirimu sendiri menjadi orang zalim dan panutan orang-orang zalim.

Wahai Harun! Kini, engkau duduk di atas kursi kebesaran. Engkau kenakan kain sutra. Engkau pasang tirai di pintumu. Engkau serupakan dirimu dengan Tuhan semesta alam dengan penjaga-penjaga yang mengawalmu. Kemudian, engkau tempatkan tentara-tentaramu yang zalim di pintu dan tiraimu. Walau mereka acap berbuat kezaliman kepada khalayak ramai, tapi mereka tidak kunjung insaf. Mereka memukul orang-orang yang menenggak minuman keras, padahal mereka sendiri juga menenggak minuman itu. Mereka menghukum orang yang berzina, padahal mereka sendiri juga para pezina. Mereka memotong tangan orang yang mencuri, padahal merela sendiri juga para pencuri. Apakah hukuman-hukuman itu tidak lebih layak ditimpakan atas dirimu dan diri mereka, sebelum engkau menghukum orang lain?

Wahai Harun! Karena itu, bagaimanakah engkau kelak, manakala dipanggil di hadapan Allah Swt, “Kumpulkanlah orang-orang zalim dan istri mereka! Manakah orang-orang zalim itu dan para penolongnya?” Lantas, pemanggil itu membawa dirimu di hadapan Allah Swt., sedangkan kedua tanganmu dibelenggu di lehermu. Tiada yang kuasa melepaskan belenggu itu selain keadilan dan keinsafanmu. Orang-orang zalim itu sendiri berada di seputarmu. Engkaulah yang mendahului mereka dan menjadi panutan mereka menuju neraka.

Wahai Harun! Seakan antara aku denganmu telah engkau tempatkan pencekik leher dan pelbagai halangan. Engkau lihat kebaikanmu dalam timbangan orang lain dan keburukanmu dalam timbanganmu. Karena itu, perhatikanlah pesanku ini. Ambillah pelajaran dari arahan yang kukemukakan kepadamu.

Ketahuilah, aku telah menasihati engkau dan tiada yang tersisa untuk tidak kukemukakan kepadamu. Takutlah kepada Allah, wahai Harun, dalam kaitannya dengan rakyatmu. Jagalah Muhammad Saw. dalam kaitannya dengan umatnya. Dan, baguskanlah kekhalifahan atas diri mereka.

Ketahuilah pula, manakala tugas ini ditetapkan atas diri orang lain, tentu tugas itu tidak akan sampai kepadamu dan menjadi hak orang lain. Ini bagaikan dunia yang penghuninya berpindah, satu demi satu. Di antara mereka ada yang mencari perbekalan yang bermanfaat. Tapi, ada juga yang merugi, baik di dunia maupun akhirat. Menurutku, wahai Harun, engkau termasuk yang merugi. Baik di dunia maupun akhirat. Karena itu, jagalah dirimu. Juga, jagalah dirimu agar tidak menulis surat lagi kepadaku selepas ini, karena tidak akan kujawab nanti.

Wassâlamu‘alaikum wa Rahmatullâh wa Barakâtuh.


Ketika surat itu diserahkan kepada Harun Al-Rasyid, penguasa itu segera membacanya penuh perhatian. Begitu membaca jawaban Sufyan Al-Tsauri itu, Al-Rasyid pun tidak kuasa menahan lelehan air matanya dan berkali-kali menarik napas panjang. Melihat hal itu, seorang pejabat yang hadir kala itu berucap kepadanya, “Wahai Amir Al-Mukminin! Betapa lancang Sufyan Al-Tsauri! Mungkin lebih baik engkau perintahkan agar ia menghadap kepadamu di sini. Lantas, setibanya di sini, belenggu dan jebloskan ia ke dalam bui yang sangat sempit. Biar menjadi pelajaran bagi orang-orang lain.”
“Tinggalkan aku, hai budak-budak dunia yang gemar memerdayakan orang lain!” hardik Harun Al-Rasyid. “Kasihan sekali orang-orang yang telah kalian binasakan! Sungguh, Sufyan adalah satu-satunya orang yang memiliki sikap berbeda. Biarkan dia dengan sikap dan tindakannya yang demikian itu!”

Surat itu kemudian senantiasa dibawa Harun Al-Rasyid dan dibacanya setiap kali usai melaksanakan shalat hingga ia berpulang. (arofiusmani.blogspot.com/)

No comments: