Thursday, August 25, 2011

Ramadhan dan Kisah Buah Apel


“Ya Allah, mengapa bulan Ramadhan begitu cepat melintas,” gumam pelan penulis sembari mencermati bintang-bintang yang bertebaran di langit cerah tadi dini hari dari balkon. Memang, selepas Ramadhan melintasi paruh pertamanya, entah kenapa penulis suka “mengintip” langit di dini hari. Sembari mencermati langit indah di dini hari, tiba-tiba penulis tersadarkan, di antara pelbagai hikmah Ramadhan yang penulis gapai pada tahun ini, dalam hubungan antarmanusia, hikmah kesabaranlah yang paling penulis dambakan. Mengapa kesabaran? Penulis merasa, kesabaran begitu besar maknanya baginya dalam menghadapi pelbagai godaan dan cobaan dalam kehidupan dewasa ini yang kian “menggoda”.

Entah kenapa, ketika sedang merenungkan hikmah Ramadhan tersebut, tiba-tiba penulis teringat kesabaran Tsabit bin Ibrahim, ayahanda Abu Hanifah Al-Nu‘man, pendiri Mazhab Hanafi, dalam menghadapi godaan sebuah apel nan lezat. Ternyata, dengan kesabarannya dalam menghadapi godaan buah apel nan lezat tersebut, hikmah luar biasa ia raih. Bagaimana kisah Tsabit bin Ibrahim tersebut? Berikut kisahnya:

“Duh, betapa lezat buah-buah apel itu,” gumam Tsabit bin Ibrahim ketika melintasi sebuah kebun apel luas selepas menempuh perjalanan panjang untuk meraih ilmu. Apalagi hari itu bekalnya telah habis dan tubuhnya terasa sangat lelah tak terkira. Karena itu, ia lantas memasuki kebun yang sedang tak dijaga itu dan kemudian melihat buah-buah apel yang ada di dalamnya. Lama, ia menatap satu demi satu buah-buah apel ranum yang sangat membangkitkan seleranya itu.

Sejenak Tsabit bin Ibrahim kemudian menghentikan langkah-langkahnya dan kemudian duduk di dekat sebuah pohon apel yang ranum buah-buahnya. Akhirnya, selepas lama menatap satu buah apel di pohon itu, tangannya terjulur ke arah buah itu dan memetiknya. Dan, kemudian, ia pun menyantap separohnya dan minum air jernih sungai yang ada di sebelah kebun itu. Tapi, tiba-tiba hati nuraninya mengingatkannya bahwa ia telah berbuat kesalahan: kebun dan buah apel itu bukan miliknya. Ia pun bergumam dengan hati yang perih dan sedih, “Wahai Tsabit! Betapa hina engkau ini. Betapa beraninya engkau memakan buah milik orang lain, tanpa meminta izin kepadanya?”

Kejadian itu benar-benar membuat Tsabit bin Ibrahim menyesal. Ia pun bertekad tak akan meneruskan perjalanannya, hingga bertemu dengan pemilik kebun itu. Ia akan meminta maaf atas tindakannya yang telah menyantap separoh apel tanpa izin. Karena itu, ia lantas mencari rumah pemilik kebun itu. Selepas berhasil menemukan rumah pemilik kebun apel itu dan berbagi sapa sejenak dengannya, ia pun berucap, “Wahai Tuan! Mohon kiranya saya dimaafkan. Tadi, tanpa seizin Tuan, saya memasuki kebun apel milik Tuan. Lalu, karena lapar dan lalai, saya memetik satu buah apel dan memakan separoh buah itu. Kemudian saya sadar, buah apel itu bukan milik saya. Karena itu, saya mohon kiranya Tuan berkenan memaafkan saya, juga mengikhlaskan separoh buah apel yang saya makan.”

Sejenak pemilik kebun tercenung dan kagum atas kejujuran anak muda yang ada di hadapannya itu. Lantas, ucapnya, “Wahai anak muda! Sungguh, saya tak kuasa merelakan tindakanmu. Betapa tak terpuji dan tak termaafkan tindakanmu itu. Kecuali bila engkau mau menerima satu syarat!”
“Apa syarat yang Tuan minta?” tanya Tsabit bin Ibrahim penuh rasa ingin tahu dan tentu saja penasaran.
“Anak muda,” jawab pemilik kebun itu seraya menatap tajam wajah anak muda yang sejatinya memikat kalbunya. “Syaratnya adalah engkau harus bersedia menikah dengan putriku. Tapi, perlu engkau ketahui, putriku itu adalah seorang gadis buta, dengan kata lain tak kuasa melihat. Juga, ia tuli, dengan kata lain tak kuasa mendengar. Dan ia juga bisu, dengan kata lain tak kuasa berbicara!”

Sedih, bingung, dan tak tahu harus menjawab bagaimana, begitu Tsabit bin Ibrahim mendengar satu syarat “pembebasan” dirinya dari kealpaan, keteledoran, dan kesalahan yang telah dilakukannya itu. Menikah dengan seorang gadis buta, bisu, dan tuli? Duh, siapakah mau menerima gadis demikian hanya karena kesalahan menyantap separoh buah apel. Berat nian persyaratan yang diajukan pemilik kebun itu.
“Duh, apakah akan kuterima syarat yang benar-benar tak ringan ini. Tapi, bagaimana kalau syarat itu kutolak?” gumam Tsabit bin Ibrahim lirih dengan hati perih dan sedih. Kemudian, selepas lama berpikir dan hati nuraninya mengingatkan kealpaan, keteledoran, dan kesalahan yang telah dilakukannya, akhirnya dengan hati yang mantap ia memutuskan menerima syarat yang diajukan pemilik kebun itu. Apa pun risikonya. Bukankah hidup di dunia yang fana ini tak lama. Juga, bukankah keridhaan Allah Swt. jauh lebih berharga dan lebih bermakna.

Betapa gembira pemilik kebun itu begitu tahu kesediaan Tsabit bin Ibrahim untuk menerima syarat yang diajukannya. Ia pun segera menyiapkan acara pernikahan anak muda itu dengan putrinya yang sangat disayanginya. Dan ketika hari pernikahan tiba, betapa galau dan resah anak muda itu. Andai waktu dapat diputar kembali ke belakang, sejatinya ia tak akan memakan buah apel itu. Sehingga, ia tak menikah dengan seorang gadis buta, tuli, dan bisu yang benar-benar tak diharapkannya itu. Tapi, kini, nasi telah menjadi bubur: hal itu telah terjadi. Akhirnya, ia hanya pasrah sepenuh hati kepada Allah Swt. Dan, pernikahan itu pun dilangsungkan.

Namun, betapa kaget Tsabit bin Ibrahim ketika bertemu dengan dengan gadis yang baru dinikahinya itu. Ternyata, gadis itu sangat cantik nan jelita, petah bicara, cepat tanggap terhadap setiap kata yang didengarnya, dan kuasa menjawab dengan cerdas setiap kata setiap orang yang menanyainya. Beda sekali dengan yang dikemukakan ayahandanya ketika mengemukakan satu syarat yang harus dipenuhinya.
“Wahai istriku,” tanya Tsabit bin Ibrahim penuh rasa ingin tahu, juga penuh haru. “Sejatinya apa yang terjadi? Ternyata, engkau kuasa bicara, mendengar, dan melihat. Tidak sebagaimana dikemukakan ayahanda kita?”
“Suamiku tercinta,” jawab gadis nan jelita itu dengan nada suara penuh takzim kepada suaminya yang baru menyuntingnya. “Ayahanda benar-benar tak berdusta kok.”
“Tak berdusta bagaimana?” tanya lebih jauh Tsabit bin Ibrahim penuh rasa ingin tahu dan sangat penasaran.
“Ayahanda memang mengatakan apa adanya. Aku buta, dengan pengertian aku tak pernah memandang laki-laki yang tak halal bagiku. Aku tuli, dengan pengertian aku tak pernah duduk di majelis yang sarat dengan gunjingan, iri, kedengkian, dan bincang-bincang yang tak bermakna. Dan aku bisu, dengan pengertian aku tak pernah mengatakan kata-kata yang tak senonoh dan tak pernah pula berbincang dengan laki-laki yang tak halal bagiku.”

Betapa gembira Tsabit bin Ibrahim mendengar jawaban istrinya yang demikian itu. Seketika itu juga ia bersujud syukur kepada Allah Swt., atas karunia istri salihah yang tidak ia duga sebelumnya. Dan, kelak, dari pasangan suami-istri ini lahir seorang anak yang kelak menjadi seorang ulama terkemuka yang pendiri Mazhab Hanafi: Abu Hanifah Al-Nu‘man. (arofiusmani.blogspot.com/)

2 comments:

islam itu indah said...

aslmmuaaikum

penggemar buku-bukunya mizan ya pak... salm kenl ya

islam itu indah said...

oh iya bapak pengarang bukunya,,, saya kenal pak.. saya suka bukunya...