Thursday, July 10, 2014

AL-FATHANI:
Guru Para Ulama Asia Tenggara

Selepas “berkelana” ke berbagai kawasan Dunia Islam: Inggris, Indonesia, Malaysia, India, dan Perancis, kini mari sejenak kita arahkan pandangan kita ke Negeri Gajah, alias Thailand. Tentu Anda tahu, mayoritas penduduk bagian selatan negeri itu memeluk Islam. Pattani, itulah kawasan tersebut. Kini, mari kita simak sejarah kawasan tersebut, juga salah seorang ulama kondang dari kawasan yang masih kerap bergolak itu.

Sebelum menjadi bagian dari Thailand, sejatinya Pattani merupakan merupakan sebuah kerajaan Islam yang wilayahnya meliputi pesisir  timur Semenanjung Malaka, Teluk Siam, dan pantai Laut China Selatan. Sebelum  menjadi  negeri Islam, negeri ini dikenal  sebagai  kerajaan  Hindu Brahma.  Tidak diketahui secara pasti kapan kerajaan ini  memeluk Islam.  Namun,  kalau melihat kebanyakan karya  sastra  sejarah, dapat  diperkirakan Pattani menjadi negeri Islam  pada  862 H/1457 M.

Raja  muslim pertama kerajaan ini adalah Sultan Ismail Syah,  yang sebelum memeluk Islam bernama Raja Phya Tu Nakpa. Sepeninggalnya, putranya  yaitu  Sultan Muzaffar Syah,  diangkat  menjadi  Sultan Pattani.  Selain  mengembangkan  dan  memajukan  negerinya,  sang sultan  kerap  melakukan  lawatan ke  negara  tetangga,  seperti Malaka  dan Siam. Namun, dalam lawatan ke Siam,  ia  diperlakukan tidak   selayaknya  oleh  Raja  Siam.  Sehingga   perlakuan   ini menimbulkan perasaan terhina dalam jiwa sang sultan. Akibatnya,  ketika mengetahui Kerajaan Siam diserang  Burma  pada 971  H/1563 M, Sultan Muzaffar Syah bersama adiknya  memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang Siam. Dengan mengerahkan 200 kapal perang  dan  ribuan pasukan, Siam akhirnya jatuh ke  tangan  sang sultan  pada  tahun  itu  juga. Tidak  lama  kemudian  sang  sultan berpulang  secara  mendadak  di  muara  Sungai  Chao  Phraya  dan dimakamkan  di sana. Sebelum berpulang sang  sultan  memandatkan kekuasaannya kepada adiknya, Sultan Manshur Syah.

Pattani mencapai zaman keemasannya ketika diperintah empat  orang ratu. Yaitu Ratu Hijau (992-1025 H/1584-1616 M), Ratu Biru (1025-1034  H/1616-1624  M), Ratu Ungu (1034-1035 H/1624-1635  M),  dan Ratu  Kuning  (1035-1062 H/1635-1651 M). Pattani  pada  masa  ini sangat  makmur dan kaya. Kekuasaannya meluas hingga  ke  Kelantan dan  Trengganu, sehingga terkenal dengan sebutan Negeri Pattani Besar. Masa kejayaan ini hanya bertahan selama 67 tahun.

Pada akhir abad  ke-11 H/17  M,  Kerajaan Pattani  mulai kehilangan  masa  keemasannya.  Kekuatan politik dan daya tarik pelabuhannya kian redup, seiring dengan makin banyaknya pusat-pusat dagang baru, seperti Johor,  Malaka, Aceh,  Banten, dan Batavia (Jakarta). Sehingga, boleh  dikatakan sejak  awal  abad ke-12 H/18 M,  pelabuhan  Pattani  hanya sebagai  tempat persinggahan saja, bukan sebagai pusat dagang dan  bisnis lagi. Ditambah dengan faktor ketidakstabilan politik,  perpecahan wilayah,  dan  krisis pucuk pimpinan, Pattani pun  menjadi  “Orang Sakit di Semenanjung Melayu”. Malah, karena kelemahannya dan kelengahannya, pada 1200 H/1785  M Siam  berhasil menaklukkannya. Mulai tahun itulah Kerajaan Pattani  berada di  bawah  cengkeraman  Siam. Bahkan pada 1327  H/1909  M,  lewat Perjanjian Bangkok antara Inggris-Siam, Pattani akhirnya terserap menjadi wilayah resmi Siam yang kemudian mengubah namanya menjadi Thailand.

Di sisi lain, Pattani juga pernah melahirkan seorang ulama terkemuka. Malah, ulama tersebut menjadi guru sejumlah ulama Asia Tenggara. Siapakah ulama kondang Pattani tersebut?

Ulama yang satu itu tidak lain adalah Syeikh Daud bin Syeikh Wan  Abdullah bin  Syeikh Wan Idris Al-Jawi Al-Fathani. Lahir di kampung  Parik Kerisek,  Patani,  Thailand pada Ahad, 1 Muharram  1183  H/7 Mei 1769 M, putra dan cucu  ulama  terkemuka Patani  ini sejak dini telah mendapat pendidikan agama dari  sang ayahanda  dan kakek, di samping beberapa guru di tanah  kelahirannya. Selepas itu, ia menimba ilmu di Aceh selama dua tahun.  Kemudian, selepas mendengar Kerajaan Islam Patani dikalahkan Kerajaan  Siam pada  1200  H/1785  M, maka dua  tahun kemudian ia bertolak ke Hijaz untuk memerdalam ilmu.

Selepas menimba ilmu di Hijaz, baik di Makkah (30 tahun)  maupun Madinah  (5  tahun), Syeikh Daud Al-Fathani  akhirnya  mengambil keputusan  untuk menetap selama-lamanya di Makkah. Di Kota Suci  itu, ia aktif mengajar di rumahnya dan di Masjid Al-Haram, di samping menyusun  karya-karya tulisnya. Di antara  murid-muridnya  adalah  Syeikh  Abdullah  bin  Isa Terengganu,  Syeikh  Hasan  bin  Ishaq Terengganu,  Syeikh  Wan Musa Kelantan,  Syeikh  Zainuddin  Aceh, Syeikh  Ismail  bin  Abdullah Minangkabau,  Syeikh  Muhammad  bin Zainuddin  bin Muhammad Badawi Sumbawa, Syeikh Ahmad  Khatib  bin Abdul  Ghaffar  Sambas,  Syeikh Wan Abdullah  bin  Muhammad  Amin Terengganu,  Haji Abdushshamad bin Faqih Haji Abdullah  Kelantan, Haji  Jamaluddin  bin  Lebai  Muhammad  Kelantan,  dan  Muhammad Shafyuddin Sambas.

Selama  bermukim di Makkah, penulis kitab kuning  terkemuka  pada abad  ke-13  H/19  M  ini sempat  pulang  ke  tanah  kelahirannya sebaganyak  tiga  kali: 1236 H/1820 M, 1248 H/1832  M,  dan  1263 H/1845  M.  Kepulangannya  tersebut,  antara  lain,  untuk   ikut bergabung  dengan  pejuang  kemerdekaan  Patani  merebut  kembali Kerajaan  Islam Patani dari penjajah Siam. Dan kala berpulang  ke hadirat Allah di Thaif, Arab Saudi pada Selasa, 22 Rajab  1263 M/6 Juli 1847 M, ia meninggalkan  sejumlah karya tulis. Antara lain Al-Bahjah Al-Saniyyah, Al-Dâr Al-Samîn, Al-Jawâhir Al-Saniyyah dan Ward Al-Zawâhir.

Perjalanan hidup yang memikat dan memberikan suatu pelajaran indah: sejatinya perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah meredup di Dunia Islam dan jika perkembangan ilmiah di suatu kawasan dari dunia itu meredup, di kawasan-kawasan lain senantiasa muncul para ulama dan ilmuwan terkemuka yang menjadi mata rantai perkembangan ilmu pengetahuan di Dunia Islam!


No comments: