AL-FATHANI:
Guru Para
Ulama Asia Tenggara
Selepas
“berkelana” ke berbagai kawasan Dunia Islam: Inggris, Indonesia, Malaysia,
India, dan Perancis, kini mari sejenak kita arahkan pandangan kita ke Negeri
Gajah, alias Thailand. Tentu Anda tahu, mayoritas penduduk bagian selatan
negeri itu memeluk Islam. Pattani, itulah kawasan tersebut. Kini, mari kita
simak sejarah kawasan tersebut, juga salah seorang ulama kondang dari kawasan
yang masih kerap bergolak itu.
Sebelum menjadi
bagian dari Thailand, sejatinya Pattani merupakan merupakan sebuah kerajaan
Islam yang wilayahnya meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Teluk Siam, dan
pantai Laut China Selatan. Sebelum
menjadi negeri Islam, negeri ini dikenal sebagai
kerajaan Hindu Brahma. Tidak diketahui secara pasti kapan kerajaan
ini memeluk Islam. Namun,
kalau melihat kebanyakan karya
sastra sejarah, dapat diperkirakan Pattani menjadi negeri
Islam pada 862 H/1457 M.
Raja muslim pertama kerajaan ini adalah
Sultan Ismail Syah, yang sebelum memeluk
Islam bernama Raja Phya Tu Nakpa. Sepeninggalnya, putranya yaitu
Sultan Muzaffar Syah,
diangkat menjadi Sultan Pattani. Selain
mengembangkan dan memajukan negerinya,
sang sultan kerap melakukan
lawatan ke negara tetangga,
seperti Malaka dan Siam. Namun,
dalam lawatan ke Siam, ia diperlakukan tidak selayaknya
oleh Raja Siam. Sehingga
perlakuan ini menimbulkan
perasaan terhina dalam jiwa sang sultan. Akibatnya, ketika mengetahui Kerajaan Siam diserang Burma
pada 971 H/1563 M, Sultan
Muzaffar Syah bersama adiknya
memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang Siam. Dengan mengerahkan 200
kapal perang dan ribuan pasukan, Siam akhirnya jatuh ke tangan
sang sultan pada
tahun itu juga. Tidak
lama kemudian sang
sultan berpulang secara mendadak
di muara Sungai
Chao Phraya dan dimakamkan di sana. Sebelum berpulang sang sultan
memandatkan kekuasaannya kepada adiknya, Sultan Manshur Syah.
Pattani mencapai zaman keemasannya
ketika diperintah empat orang ratu. Yaitu
Ratu Hijau (992-1025 H/1584-1616 M), Ratu Biru (1025-1034 H/1616-1624 M), Ratu Ungu (1034-1035 H/1624-1635 M),
dan Ratu Kuning (1035-1062 H/1635-1651 M). Pattani pada
masa ini sangat makmur dan kaya. Kekuasaannya meluas
hingga ke Kelantan dan
Trengganu, sehingga terkenal dengan sebutan Negeri Pattani Besar. Masa
kejayaan ini hanya bertahan selama 67 tahun.
Pada akhir abad ke-11 H/17
M, Kerajaan Pattani mulai kehilangan masa
keemasannya. Kekuatan politik dan
daya tarik pelabuhannya kian redup, seiring dengan makin banyaknya pusat-pusat
dagang baru, seperti Johor, Malaka,
Aceh, Banten, dan Batavia (Jakarta).
Sehingga, boleh dikatakan sejak awal
abad ke-12 H/18 M, pelabuhan Pattani
hanya sebagai tempat persinggahan
saja, bukan sebagai pusat dagang dan
bisnis lagi. Ditambah dengan faktor ketidakstabilan politik, perpecahan wilayah, dan
krisis pucuk pimpinan, Pattani pun
menjadi “Orang Sakit di
Semenanjung Melayu”. Malah, karena kelemahannya dan kelengahannya, pada 1200
H/1785 M Siam berhasil menaklukkannya. Mulai tahun itulah Kerajaan
Pattani berada di bawah
cengkeraman Siam. Bahkan pada
1327 H/1909 M,
lewat Perjanjian Bangkok antara Inggris-Siam, Pattani akhirnya terserap
menjadi wilayah resmi Siam yang kemudian mengubah namanya menjadi Thailand.
Di sisi lain,
Pattani juga pernah melahirkan seorang ulama terkemuka. Malah, ulama tersebut
menjadi guru sejumlah ulama Asia Tenggara. Siapakah ulama kondang Pattani
tersebut?
Ulama yang satu
itu tidak lain adalah Syeikh Daud bin Syeikh
Wan Abdullah bin Syeikh Wan
Idris Al-Jawi Al-Fathani. Lahir di kampung
Parik Kerisek, Patani, Thailand pada Ahad, 1 Muharram 1183
H/7 Mei 1769 M, putra dan cucu
ulama terkemuka Patani ini sejak dini telah mendapat pendidikan
agama dari sang ayahanda dan kakek, di samping beberapa guru di
tanah kelahirannya. Selepas itu, ia
menimba ilmu di Aceh selama dua tahun.
Kemudian, selepas mendengar Kerajaan Islam Patani dikalahkan
Kerajaan Siam pada 1200
H/1785 M, maka dua tahun kemudian ia bertolak ke Hijaz
untuk memerdalam ilmu.
Selepas menimba
ilmu di Hijaz, baik di Makkah (30 tahun) maupun Madinah
(5 tahun), Syeikh
Daud Al-Fathani akhirnya mengambil keputusan untuk menetap selama-lamanya
di Makkah. Di Kota Suci itu,
ia aktif mengajar di rumahnya dan di Masjid Al-Haram, di samping
menyusun karya-karya tulisnya. Di antara murid-muridnya adalah
Syeikh
Abdullah bin Isa Terengganu, Syeikh Hasan
bin Ishaq Terengganu, Syeikh Wan Musa Kelantan, Syeikh Zainuddin
Aceh, Syeikh
Ismail bin Abdullah Minangkabau, Syeikh Muhammad bin Zainuddin
bin Muhammad Badawi Sumbawa, Syeikh Ahmad Khatib
bin Abdul Ghaffar Sambas,
Syeikh Wan Abdullah bin Muhammad Amin Terengganu, Haji Abdushshamad bin Faqih Haji Abdullah Kelantan, Haji
Jamaluddin bin Lebai
Muhammad Kelantan, dan Muhammad
Shafyuddin Sambas.
Selama bermukim di Makkah, penulis kitab kuning terkemuka
pada abad ke-13 H/19
M ini sempat pulang
ke tanah kelahirannya sebaganyak tiga
kali: 1236 H/1820 M, 1248 H/1832
M, dan 1263 H/1845
M. Kepulangannya tersebut,
antara lain, untuk
ikut bergabung dengan pejuang
kemerdekaan Patani merebut
kembali Kerajaan Islam Patani
dari penjajah Siam. Dan kala berpulang
ke hadirat Allah di Thaif, Arab Saudi pada Selasa, 22 Rajab 1263 M/6 Juli 1847 M, ia meninggalkan sejumlah karya tulis. Antara lain Al-Bahjah Al-Saniyyah, Al-Dâr Al-Samîn,
Al-Jawâhir Al-Saniyyah dan Ward
Al-Zawâhir.
Perjalanan hidup
yang memikat dan memberikan suatu pelajaran indah: sejatinya perkembangan ilmu
pengetahuan tidak pernah meredup di Dunia Islam dan jika perkembangan ilmiah di
suatu kawasan dari dunia itu meredup, di kawasan-kawasan lain senantiasa muncul
para ulama dan ilmuwan terkemuka yang menjadi mata rantai perkembangan ilmu
pengetahuan di Dunia Islam!
No comments:
Post a Comment