‘ABDUL HALIM MAHMUD:
Syeikh Al-Azhar yang Berani Berkata Tidak
kepada Penguasa
Selepas dua hari yang lalu Anda “menikmati” Kota Istanbul, kini mari sejenak kita berjalan-jalan
sekitar 1,250 kilometer ke arah barat daya, ke Kairo, ibukota Mesir. Tentu, Anda
tahu kota yang satu ini.
Ketika Anda melintasi Salah Salem
Street dari arah Cairo International Airport, kemudian perjalanan Anda
melintasi persimpangan antara Salah Salem Street dan Jawhar Al-Qa‘id Street, di
kawasan Darasah, di sebelah kanan Anda akan terlihat sebuah bangunan megah di pojokan. Gedung itu tidak lain
adalah markas besar Syeikh Al-Azhar (Idârah
Al-Azhar Al-Syarîf)
yang dalam bahasa Inggris disebut Grand Sheikh Al-Azhar. Nah,
di gedung itulah sejatinya pelbagai
persoalan keislaman dikaji dan dikelola. Baik di
tingkat Mesir maupun Dunia Islam,
Jabatan Syeikh Al-Azhar tersebut
sangat bergengsi. Ini karena pemegang jabatan tersebut membawahi sebuah lembaga yang disebut Al-Azhar Al-Syarif, sebuah lembaga pendidikan tertua di Dunia Islam. Berbeda
dengan Lembaga Al-Azhar Al-Syarif, yang telah berusia lebih dari seribu tahun, gelar “Syeikh Al-Azhar” yang
diberikan kepada seseorang yang menjadi “panglima tertinggi” lembaga tersebut baru
dipakai pada 1101 H/1690
M. Pemegang pertama
jabatan itu adalah
Syeikh
Muhammad ‘Abdullah Al-Kharrasyi.
Hingga tahun 1355 H/1936
M, jabatan Syeikh Al-Azhar dapat diwariskan. Kemudian, sejak 1366 H/1946 M, keluar aturan
yang membolehkan pemegang
jabatan itu berasal
dari luar lingkungan Al-Azhar. Pengangkatan pemegang jabatan ini ditetapkan Kepala Negara Mesir. Dalam
perjalanan sejarah jabatan ini, sebagian
besar para pemegangnya
berasal dari Mazhab Syafi‘i.
Pemegang jabatan Syeikh Al-Azhar sendiri memimpin lima lembaga: Majelis Tinggi Al-Azhar, Lembaga
Penelitian Islam, Biro Kebudayaan
dan Missi Islam, Universitas
Al-Azhar, dan Lembaga
Pendidikan Dasar dan Menengah. Majelis Tinggi Al-Azhar merupakan
lembaga tertinggi yang menggariskan kebijaksanaan umum Al-Azhar. Majelis ini
terdiri dari Syeikh Al-Azhar (sebagai Ketua), Wakil Syeikh Al-Azhar,
Rektor Universitas Al-Azhar, para
dekan berbagai fakultas di lingkungan Universitas Al-Azhar, empat orang
dari Lembaga Penelitian Islam, seorang
wakil dari berbagai departemen
Mesir, Kepala Biro Kebudayaan
dan Missi Islam, Direktur
Pendidikan Dasar dan Menengah Al-Azhar, dan tiga pakar pendidikan tinggi.
Sejatinya, jabatan Syeikh Al-Azhar merupakan jabatan umat, semacam
kepausan di kalangan para pengikut Agama Kristen Katolik. Kurang lebih begitu,
tetapi tidak sama persis. Ini karena di Dunia Islam yang beraliran Sunni tidak dikenal sistem seperti itu. Di sisi lain, jabatan itu
merupakan jabatan independen dan otonom yang memiliki otoritas penuh tanpa
campur tangan pemerintah. Tetapi, sejak Presiden Anwar Sadat
berkuasa, pemerintah Mesir mulai berusaha menggoyang kedudukan Syeikh Al-Azhar, dengan tujuan supaya pemerintahan Mesir dapat melakukan campur tangan di dalamnya. Ini karena sebenarnya
jabatan Syeikh
Al-Azhar setara kedudukannya dengan jabatan Perdana Menteri. Namun, usaha yang
dilakukan Presiden Anwar Sadat senantiasa kandas di tangan kewibawaan seorang Syeikh Al-Azhar yang kala itu dijabat Prof. Dr. Syeikh ‘Abdul Halim Mahmud.
Siapakah ulama kharismatik yang wajahnya memancarkan keteduhan
dan kesejukan ini?
Syeikh
Al-Azhar Mesir ke-40, yang juga terkenal
sebagai seorang pemikir Muslim
terkemuka dan penulis yang
produktif, ini lahir
di Desa Abu Ahmad
(sekarang disebut Desa Salam), Bilbis,
Provinsi
Syarqiyah pada Selasa, 29 Rabi‘ Al-Akhir
1328 H/10 Mei 1910 M. Ia dalam lingkungan keluarga yang
terkenal dermawan dan penghapal Al-Quran. Nama
lengkapnya sejak lahir adalah ‘Abdul Halim bin Mahmud bin ‘Ali bin Ahmad.
Selepas menimba ilmu-ilmu keislaman di tempat kelahirannya, pada
1342 H/1923 M ia memasuki dunia
pendidikan di lingkungan Al-Azhar: Perguruan
Awwaliyyah. Sembilan tahun
selepas itu, ia berhasil
meraih gelar al-‘âlimiyyah
termuda sepanjang sejarah Al-Azhar,
dalam usia 22 tahun. Lantas,
ia bertolak ke Paris, Perancis, untuk menimba ilmu di
Universitas Sorbonne dengan biaya sendiri.
Ketika anak keturunan ‘Ali bin
Abu Thalib dari garis ayahandanya ini sedang
meniti pendidikan di Kota Cahaya tersebut, Perang
Dunia II berkecamuk dan
menyelubungi negeri itu. Meski demikian, ia
tetap melanjutkan pendidikannya. Sehingga, akhirnya, gelar doktor dari universitas terkemuka
di Paris tersebut, di bidang tasawuf, ia raih
pada 1359 H/1940 M di bawah bimbingan seorang orientalis
terkemuka Perancis kala itu, Louis Massignon. Disertasinya tentang seorang tokoh
sufi terkemuka pada masa pertengahan: Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi. Dan,
karena suasana perang
kala itu sedang mencekam, ia terpaksa pulang ke
negerinya dalam waktu yang cukup lama,
dengan melewati Tanjung Harapan, Afrika.
Setiba di Mesir,
ulama dan ilmuwan yang acap
menghadiri berbagai pertemuan Islam internasional ini diangkat
menjadi staf pengajar di
bidang ilmu jiwa
di Fakultas Bahasa
Arab di almamaternya. Pada 1371
H/1951 M tugasnya dipindahkan ke Fakultas Ushuluddin di universitas yang sama.
Lantas, pada 1384 H/1964 M, ulama yang
pernah menjadi penasihat
keagamaan Presiden Anwar Sadat ini diangkat menjadi Dekan
Fakultas Ushuluddin. Pada tahun yang sama ia juga menjadi anggota Lembaga Riset
Islam (Majma‘ Al-Buhuts
Al-Islâmiyyah). Jabatan Menteri Wakaf Mesir dipegang ulama yang berpendapat
bahwa “tasawuf adalah jalan yang
selamat, akomodatif, dan konstruktif
bagi kehidupan dan kemajuan” ini pada
1390 H/1970 M. Sedangkan jabatan tertinggi Al-Azhar, Syeikh Al-Azhar,
menggantikan Muhammad Al-Fahham, diduduki ulama yang juga menjabat dosen terbang di beberapa
perguruan tinggi seperti Universitas
Zaitunah di Tunisia dan Universitas Islam di
Libya ini sejak 1393 H/1973 M.
Nah, baru selepas Prof. Dr. ‘Abdul Halim
Mahmud berpulang di Kairo, pada Selasa, 14 Dzulqa‘dah 1398 H/17 Oktober 1978
M, mulailah tangan
pemerintah Mesir masuk ke dalam otoritas Syeikh
Al-Azhar. Di sisi lain, sejatinya jabatan Syeikh Al-Azhar
bukan hanya milik ulama Mesir. Tetapi, jabatan tersebut merupakan milik Dunia Islam. Siapa pun
ulama dan tokoh Dunia Islam, termasuk Anda, berhak menjadi
Syeikh Al-Azhar. Bila
terpilih tentunya. Meski begitu, selama ini baru sekali jabatan itu
dipegang seorang ulama non-Mesir. Memang unik
posisi Lembaga Al-Azhar dan jabatan sebagai Syeikh Al-Azhar!
Kewibawaan seperti halnya yang ada
pada diri Prof. Dr. ‘Abdul Halim Mahmud, tentu, tidak tumbuh bila tokoh yang
satu ini tidak memiliki kepribadian yang kuat, jujur, amanah, merendah,
berilmu, serta memiliki integritas yang senantiasa terjaga baik. Sehingga, karena semua itu, kewibawaan
ulama terkemuka yang satu ini tidak “tersedot” dalam kewibawaan seorang
presiden yang juga memiliki kewibawaan yang juga kuat. Teladan yang indah!
No comments:
Post a Comment