ZEWAIL:
Ilmuwan Muslim yang Penerima Hadiah
Internasional Raja Faisal dan Hadiah Nobel
Selepas dari Kota Kairo, kini mari kita sejenak
pergi ke sebuah kota yang terletak sekitar 225
kilometer di sebelah utara ibukota Mesir itu. Kota Alexandria, atau Iskandariah
dalam bahasa Arab, itulah nama kota itu.
Mungkin, Anda pernah mengunjungi kota
yang satu ini. Jika pernah ke sana, tidak salah jika Anda berpandangan bahwa
kota yang satu ini merupakan sebuah kota pantai indah yang membentang panjang sekitar
32 kilometer di tepi Laut Mediterania. Sebuah kota indah, memang. Namun, di balik keindahannya, sejatinya sejarahnya yang panjang juga
“menyimpan” sejarah pergolakan pemikiran luar biasa yang kerap
sarat duka. Kota yang terletak di tepi Laut Mediterania ini, menurut
torehan sejarah, dibangun Alexander Agung. Tokoh yang berhasil menaklukkan tiga
benua itu ingin mengabadikan namanya, pada 332 SM, pada sebuah megalopolis baru
yang akan menjadi pusat pemerintahan kekaisaran yang ia bangun. Berdirilah
kemudian Kota Alexandria.
Dewasa ini, jika Anda berada di jantung Kota Alexandria, yang di masa
kuno juga disebut Ad Aegyptum (berarti “dekat Mesir”) dan telah berusia ribuan
tahun serta
pernah menjadi pusat budaya dunia, tentu
Anda merasa seakan sedang berada di Eropa, ketika Anda sedang menikmati
pemandangan indah sepanjang Sungai Danube di Vienna, Austria atau Sungai Seine di Paris, Perancis. Gaya arsitektur
bangunan-bangunan kota di tepi Laut Mediterania ini memang banyak mengadaptasi gaya arsitektur bangunan-bangunan di Eropa.
Lantas, jika Anda berdiri
di
tepi Al-Geish Avenue, yang terdiri dari sepuluh jalur, di sisi kiri jalan dari
arah Istana El-Montazah, di situ Anda akan melihat sebuah bangunan megah berbentuk silinder miring. Itulah
gedung baru Perpustakaan Alexandria yang
dirancang Snøhetta, sebuah biro arsitektur Norwegia. Nah, setelah “menikmati” Perpustakaan
Alexandria baru tersebut, berjalan kakilah Anda ke arah Benteng Qait-Bey.
Setelah melangkah beberapa saat, di sisi kiri Anda akan terlihat gedung Universitas Alexandria. Sekilas bangunan itu tidak menarik
perhatian. Tentu saja, karena sebelumnya perhatian Anda telah “tersedot” oleh
pesona Perpustakaan Alexandria baru. Tetapi, di universitas itulah salah seorang pemenang Hadiah Nobel di bidang kimia
pernah menimba ilmu sebelum
ia ber“kelana” ke Amerika Serikat. Ilmuwan itu tidak lain adalah Prof. Dr. Ahmed Hassan
Zewail.
Barang kali Anda juga tahu, hingga dewasa ini ada tiga tokoh Mesir yang menerima Hadiah Nabel di bidang-bidang yang
berbeda: Anwar Sadat (1398 H/1978 M) di bidang perdamaian, Naguib Mahfouzh (1408 H/1988 M) di bidang sastra, dan yang terakhir adalah Ahmed Hassan Zewail (1420 H/1999 M) di bidang kimia. Tokoh yang pertama dan kedua mungkin Anda mengenal mereka. Sedangkan tokoh ketiga, kenalkah
Anda? Baiklah, kini, bagaimanakah
kisah hidup ringkas
ilmuwan Muslim yang meraih Hadiah Nobel di bidang kimia itu?
Sejatinya, ilmuwan
Muslim yang pertama
kali menerima Hadiah Nobel di bidang kimia ini tidak lahir di sebuah kota besar seperti halnya
Kota Alexandria. Tetapi, ia lahir di
Damanhur, Mesir, (terletak
di antara Alexandria dan Rosetta) sebuah kota kecil yang hanya berjarak sekitar 60
kilometer dari kota yang pernah menjadi saksi kisah percintaan
antara Cleopatra VII dan Marcus Antonius. Tokoh kita ini lahir pada Selasa, 24 Rabi‘ Al-Awwal
1365 H/26 Februari 1946 M.
Selepas merampungkan pendidikan
tinggi di Universitas
Alexandria, Mesir, pada 1387 H/1967
M, putra seorang pegawai negeri ini lantas meniti karier di lingkungan
almamaternya sebagai mu‘îd,
alias asisten dosen. Namun, dorongan untuk mengembangkan diri kemudian memacunya untuk
meninggalkan negerinya,
untuk menimba ilmu di Amerika Serikat, dua tahun kemudian. Di negeri adikuasa tersebut,
putra pasangan suami-istri Hassan
Ahmed Zewail dan Rauhiyyah Dar ini berhasil
meraih gelar Ph.D dari Universitas Pennsylvania
pada 1393 H/1973 M tentang spektroskopi
pasangan-pasangan molekul.
Selepas meraih
gelar doktor, pencinta
berat lagu-lagu Umm Kultsum, seorang penyanyi legendaris (virtuoso)
Mesir, ini (lagu-lagu yang senantiasa ia dengarkan hingga kini ketika benaknya
sedang gelisah dalam menghadapi suatu problem ilmiah) tidak kembali ke negerinya. Tetapi, ia mengajukan lamaran kerja ke lima posisi: tiga di Amerika
Serikat, satu di Jerman, dan satu lagi di Belanda.
Selepas diterima
di kelima posisi tersebut, Zewail
kemudian memilih
meniti karier di lingkungan Universitas
California, Berkeley, Amerika Serikat. Segera,
karier ilmiahnya berpendar cemerlang. Dua tahun kemudian, ia pindah ke California Institute of
Technology (Caltech) dan akhirnya
ia berhasil menjadi guru besar
kimia Linus Pauling Chair dan
Direktur National Science Foundation Laboratory for Molecular Sciences di perguruan tinggi
tersebut. Di sisi lain, berkat sederet karya dan penemuannya,
penemu femto kedua
ini berhasil meraih
sederet hadiah dan penghargaan, antara lain Robert A. Welch Prize Award,
Benjamin Franklin Medal, Leonardo
Da Vinci Award of Excellences, Rontgen
Prize, Paul Karrer Gold Medal, Bonner
Chemiepreis, Medal of the Royal
Netherlands Academy of Arts and Sciences, Carl Zeiss Award, Hoechst Award,
Alexander von Humbolt Award, Herbert
P. Broida Prize, Linus Pauling Medal Award, E.O. Lawrence
Award, Chemical Sciences Award, J.
G. Kirkwood Medal, Peking University Medal, Pittsburgh Spectroscopy Award,
First E. B. Wilson Award, Richard C. Tolman Medal Award, William H. Nichols Medal Award, Merski Award,
Faye Robiner Award, Golden Plate Award,
City of Pisa Medal, Medal of “La
Sapienza” (“Wisdom”), Médaille de l’Institut du Monde Arabe, G. M. Kosolapoff
Award, Sir C. V. Raman Award, Arab American
Award, Medal of University of Buenos Aires, Medal of National University of
Cordoba, Jubilee Medal of National Research Council of Egypt, 150th Anniversary
Medal of the French Chemical Society, Gold Jubilee Medal (50th Anniversary) of Assiut
University, Jabir Ibn Hayyan (“Geber”) Medal, MIT Lifetime Achievement Award, 700th Anniversary Medal, Universidad Complutense
de Madrid, Othmer Gold Medal, Arab American of the Year Award, Pioneer in
Photonics Award, 375th Anniversary
Celebration Medal, G. Robert Oppenheimer Medal, Gilbert Newton Lewis Medal, Sir Humphrey Davy Medal, Sven Berggren Prize, Medal
of the University of Tunis, Mendel Medal of Villanova University, dan World Harmony Award of University of California.
Penghargaan demi
penghargaan atas karya-karya
suami seorang dokter, Dema Zewail
(putri seorang penerima Hadiah
Internasional Raja Faisal yang
dikenal Ahmad Hassan Zewail selepas ia
menerima hadiah tersebut pada
1989 M) dan ayah empat orang anak yang pakar laser dan menetap
di San Marino, California
ini berpuncak dengan keberhasilannya menerima
Hadiah Internasional Raja Faisal
di bidang sains tahun 1409 H/1989 M dan Hadiah Nobel
di bidang kimia tahun 1420 H/1999 M. Mengapa Hadiah Nobel dipandang layak diberikan kepada ilmuwan Muslim
yang kala itu menjabat guru besar di California Institute of Technology (Caltech)
itu? Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia berpandangan, Zewail “membuat terjadinya
revolusi di bidang kimia (brought about a revolution in chemistry)”,
sehingga memungkinkan para ilmuwan “melihat gerakan-gerakan atom-atom
individual (to see the movements of individual atoms).” Sedangkan Komite
Hadiah Nobel mengakui bahwa karya Zewal melempangkan jalan bagi para ilmuwan
untuk “memahami dan memprediksi reaksi-reaksi (kimiawi) penting (to
understand and predict important [chemical] reactions).”
Perjalanan hidup ilmuwan Muslim yang pemegang dwi-kewarganegaan ini, Amerika Serikat dan Mesir, memberikan
sebuah pelajaran indah: hadiah ilmiah paling bergengsi di dunia pun dapat
diraih siapa pun dan dari manapun serta meski berasal dari desa tertinggal
sekalipun. Ini seperti halnya yang dialami Prof. Dr. Ahmed H. Zewail, seorang
ilmuwan Muslim penerima sekitar 40 gelar doctor honoris causa, dari
berbagai universitas di berbagai penjuru dunia, dan kini menjadi anggota
Majelis Penasihat di Bidang Sains dan Teknologi Presiden Obama, selain menjadi
guru besar kimia dan fisika Linus Pauling Chair dan Direktur Physical Center
for Ultrafast Science & Technology di Caltech!
No comments:
Post a Comment