SINAN PASHA:
Arsitek Maestro Muslim yang “Sejajar” dengan Michaelangelo
Kini, mari kita tengok sebuah kota yang berada di antara dua benua: Kota
Istanbul. Kota yang satu itu tentu Anda tahu. Tidak salah lagi, inilah kota tercantik dan
terbesar di Turki.
Nama Istanbul
sendiri secara resmi dikenakan dirinya sejak 1341 H/1923 M. Kata Istanbul sendiri berasal dari kata
Yunani, Stimboli, yang berarti “di dalam kota”. Kota itu
sendiri mulai dihuni sekitar 3.000 sebelum Masehi (SM). Lantas, pada 685 SM,
koloni Yunani asal Kota Megara mulai mendirikan koloni di Chalcedon (kini
menjadi Distrik Kadıköy). Kota itu, oleh
koloni Yunani tersebut, disebut Bosphorus. Delapan belas tahun selepas
itu, Raja Byzas dari Yunani menduduki
wilayah Eropa dari Bosphorus tersebut dan menamakannya “Bizantion” atau Byzantium.
Kemudian, semenjak tahun 100 SM, kota itu menjadi bagian dari Kekaisaran
Romawi. Lantas, pada 306 M, Kaisar Constantine Agung menjadikan Byzantium sebagai ibukota
Kekaisaran Byzantium. Semenjak itulah, Byzantium
yang diubah dengan sebutan Constantinople dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kekaisaran Byzantium. Selain sebagai kota metropolis terkemuka selama
berabad-abad, Constantinople juga berkembang pesat menjadi pusat Agama Kristen Ortodoks.
Selepas Islam
berkembang pesat ke pelbagai kawasan Timur Tengah, semenjak dini kaum Muslim
telah berusaha menaklukkan satu-satunya kota metropolis di dunia yang terletak di
dua benua itu. Usaha pertama menundukkan kota itu
dilakukan pada 40 H/660 M, di bawah komando ‘Abdurrahman bin Khalid. Usaha kedua dilakukan pada 53 H/673 M, di bawah
komando Yazid bin Mu‘awiyah. Sejumlah sahabat
Nabi Muhammad Saw. ikut serta dalam ekspedisi militer ini. Antara
lain ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Al-‘Abbas, ‘Abdullah bin Al-Zubair, dan Abu Ayyub
Al-Anshari yang gugur dalam ekspedisi
ini (kini makamnya terdapat di Distrik Eyup, Istanbul, di ujung Golden
Horn). Namun, kedua usaha itu mengalami
kegagalan. Usaha selanjutnya, secara besar-besaran, dilakukan lagi di bawah
komando Maslamah bin ‘Abdul Malik, yang mengerahkan sekitar
60,000 pasukan, darat dan laut. Namun, usaha itu lagi-lagi
mengalami nasib yang sama: gagal.
Kemudian, ketika
Dinasti Usmaniyyah tegak, ‘Utsman I, Murad I,
Bayazid, dan Murad II,
berusaha kembali menundukkan
kota ini. Seperti usaha
sebelumnya, usaha mereka
pun mengalami kegagalan. Tetapi, kawasan di sekitar kota itu
berhasil mereka duduki. Sehingga,
mereka berhasil memaksa Kaisar Byzantium
membayar upeti. Usaha menundukkan
kota itu baru berhasil pada
858 H/1453 M, di tangan Sultan Muhammad II Al-Fatih. Dalam
penaklukan itu, sang sultan mengerahkan sekitar 50,000 pasukan elite yang
dilengkapi meriam.
Selepas menghajar
habis-habisan kota di bawah kekuasaan
Kaisar Constantine itu, Sultan Muhammad
II Al-Fatih dan pasukannya berhasil
memasuki Constantinople pada Selasa, 20 Jumada Al-Ula 857 H/29 Mei 1453
M. Selepas itu, dinasti
yang dinisbatkan kepada ‘Utsman I
itu berhasil mengepakkan wilayah kekuasaannya ke
berbagai penjuru dunia:
Semenanjung Arab, Balkan, Hungaria,
hingga kawasan Afrika Utara.
Namun, selepas berkuasa sekitar tujuh abad, dinasti tersebut akhirnya hancur akibat perebutan kekuasaan dalam
negeri yang melibatkan sejumlah
negara asing. Selama itu, Istanbul tetap dijadikan sebagai
ibukota Dinasti Usmaniyyah hingga
berdirinya Republik Turki pada 1342 H/1923 M. Sejak itulah ibukota Turki
dipindahkan ke Ankara.
Nah, ketika berkunjung ke Istanbul, selayaknya Anda juga mengunjungi dua
masjid yang merupakan karya-karya puncak (masterpieces) seorang arsitek
kenamaan Turki pada Masa Pertengahan: Masjid Sulaimaniyyah dan Masjid Sehzade.
Jarak lokasi dua masjid itu tidak berjauhan kok: hanya sekitar 1,5
kilometer saja. Sayang, jika Anda berkunjung ke Istanbul, tetapi Anda tidak
mengunjungi dua masjid yang sangat indah itu.
Siapakah arsitek kondang dua masjid itu?
Sinan Pasha, itulah nama sang arsitek. Dan, kini, marilah sejenak kita
ikuti kisah hidup arsitek “raksasa” ini, yang oleh seorang ahli sejarah seni
Iran dan Islam, Ernst Diez, asal Austria, dinyatakan bahwa “secara
teknis, karya-karya arsitektur Sinan jauh lebih
cemerlang ketimbang karya-karya Michelangelo.”
Arsitek piawai berdarah Turki, dengan nama lengkap
Sinan bin ‘Abdul Mannan, ini lahir di Desa Agirnas, Kayseri,
Anatolia pada Rabu, 14 Jumada Al-Ula 894 H/15 April 1489 M. Arsitek yang satu ini lahir dalam lingkungan keluarga
pemeluk Agama Kristen Yunani, dengan nama kecil Joseph. Lantas, ketika Sultan Salim
I Yavus, seorang
penguasa dari
Dinasti Usmaniyyah, hendak
melancarkan serangan terhadap Persia, Sinan bergabung
dengan Pasukan Yeniceri. Kemudian,
selepas
melalui proses pencarian
dan pemahaman yang cukup lama, baru ketika berusia 23 tahun
Sinan menyatakan keislamannya. Tidak lama kemudian, anak
muda berbakat itu memasuki Akademi Militer. Di akademi tersebut, ia
mendapat bimbingan keras para pakar militer Turki yang juga terkenal sebagai para arsitek.
Segera selepas
merampungkan pendidikannya di
Akademi Militer, arsitek yang
mendapat gelar “Koca Mimar” (Arsitek Besar) ini ikut dalam serentetan
ekspedisi yang digelar
Turki ke berbagai kawasan. Baik di dunia Timur
maupun Barat. Tugas ini memberikan
kesempatan bagi anak
muda yang haus
ilmu pengetahuan dan pengalaman itu
untuk mengenali karya-karya
arsitektur dunia. Namun, bakatnya sebagai
arsitek belum tersalurkan. Baru pada 941
H/1534 M, bakatnya mulai memeroleh perhatian orang. Kala itu, panglima angkatan bersenjata Turki, Lutfi Pasha, memerintahkan dirinya
untuk membikin kapal-kapal perang yang dapat bergerak cepat dan tangguh. Tugas itu ia
laksanakan dengan baik.
Tidak lama selepas Sinan tiba kembali di
Istanbul dari Iran, tokoh
arsitek Turki kala itu, Ajm Ali, berpulang. Ternyata, Sinanlah yang
diangkat sebagai pengganti. Bukan
hanya itu. Ia
juga diangkat sebagai pemimpin
kelompok arsitek istana.
Selepas menjadi orang pertama dalam
jajaran arsitek kondang Turki, ia pertama-tama
mendapat tugas dari
Sultan Sulaiman Al-Qanuni untuk merancang saluran air minum
bagi warga Istanbul.
Di samping itu,
Sinan juga diperintahkan merancang
masjid-masjid yang hendak dibangun
waktu itu. Lahirlah
kemudian, dari tangannya, tidak
kurang dari 441
rancangan arsitektur. Di antaranya
adalah Masjid
Sokollo, Masjid Rustem Pasha, Masjid
Sehzade, dan Masjid Sulaimaniyyah,
semuanya di Istanbul. Masjid Salimiyyah di Edirne, Masjid
Mehmet Pasa di Sophia, Bulgaria, Masjid Mustafa Pasya di
Budapest, Hungaria, dan Masjid Tatar Khan di eks
Uni Soviet juga merupakan “buah” tangannya. Sedangkan di dunia Arab,
Sinan merancang Masjid Khasraw Pasya di Aleppo dan Masjid Sultan Sulaiman di Damaskus. Kubah-kubah
Masjid Al-Haram juga merasakan sentuhan
tangannya. Sedangkan di
Madinah, ia mendirikan
sebuah restoran umum indah dengan nama “Khaski Sultan”.
Nah, di
antara ratusan karya arsitektur yang
lahir lewat tangan tokoh
yang berpulang di Istanbul pada Ahad, 22 Sya‘ban 996 H/17 Juli 1588 M, dalam usia 99 tahun, ini
tiga di antaranya dipandang sebagai
“tiga karya puncaknya”
(masterpieces).
Ketiga karya puncak dan
klasiknya itu adalah Masjid Sehzade, yang selesai dibangun pada
955 H/1548 M, Masjid Sulaimaniyyah, yang dibangun untuk Sultan Sulaiman Al-Qanuni, dan
Masjid Salimiyyah di Edirne, yang dibangun pada
976-982 H/1568-1574 M.
Selamat mengunjungi Istanbul. Juga, “berkenalan” dengan Sang Maestro,
yang makamnya terletak di lingkungan Masjid Sulaimaniyyah, dan karya-karya
puncaknya!
No comments:
Post a Comment