Monday, July 7, 2014

ZAKI MUBARAK:
Ilmuwan “Kaya Warna” yang Tidak Malu Merevisi Pandangan Ilmiahnya

Wajahnya bulat telur. Hidungnya mancung.  Kumisnya model kumis Charlie Chaplin. Memang, ilmuwan Muslim yang satu ini sekocak si Chaplin. Tetapi, bila ia sedang berpikir keras, wajahnya yang kocak pun sirna. Lebih-lebih bila ia sedang membicarakan dunia persufian, alias tasawuf. Dunia tasawuf, memang, merupakan salah satu puncak pengkajiannya.

Perhatian ilmuwan bernama Zaki Mubarak ini, terhadap dunia tasawuf, dapat dimengerti bila kita tahu latar belakang keluarga dan obsesinya. Ia lahir dalam lingkungan keluarga petani miskin, pada 1311 H/5 Agustus 1892 M, di sebuah desa di tepi Sungai Nil, Mesir, Sanatris, Al-Minufiyyah. Kehidupan desa dan kemiskinan bukan hal yang asing baginya. Kemudian ayahandanya, selaras dengan nazarnya, memerintahkan ia menghapal Al-Quran ketika ia mulai belia di sebuah kuttâb (Taman Pendidikan Al-Quran). Dengan patuh  ia melaksanakan  keinginan ayahandanya yang begitu mencintainya,  karena ia  adalah putra satu-satunya yang tetap hidup ketika  dilahirkan. Segera, ia berhasil menghapal seluruh Al-Quran. Meski hapal Al-Quran, ia terkenal bandel. Malah, suatu hari, ia pernah nyaris mati tenggelam di Sungai Nil. Pada saat lain, ia nyaris tewas karena jatuh dari atas rumah.

Lantas,  ketika  berumur 16 tahun, seperti  kebanyakan  anak-anak desanya,  Zaki Mubarak telah menikah. Istrinya tiga  tahun  lebih muda  ketimbang  dirinya. Meski mereka menikah dalam  usia  muda, namun  pernikahan  mereka berlangsung aman hingga  ia  berpulang.  Dari pernikahannya ini ia dikaruniai lima  anak.  Setahun kemudian,  ayahandanya meminta ia agar  belajar di Sekolah Menengah Umum Al-Azhar. Dengan  penuh semangat permintaan itu ia penuhi. Pada 1326 H/1908 M ia diterima di lembaga pendidikan yang telah berusia lebih dari seribu  tahun itu. Selama tujuh tahun ia lalui sebagian hidupnya di sana.

Rampung   belajar  di  Al-Azhar,  Zaki  Mubarak   muda   kemudian mendaftarkan  diri  di Fakultas Sastra Universitas Fuad  I  (kini Universitas  Kairo).  Ia baru diterima pada 1335 H/1916  M.  Baru tiga  tahun  belajar di universitas  ini,  di  negerinya  meletus Revolusi  1919 menentang penjajah Inggris. Dengan penuh  semangat ia  mendukung  revolusi itu. Selepas selama  tiga  bulan  menjadi buron,  ia  akhirnya tertangkap. Ia pun  dijebloskan  ke  dalam bui  di  Alexandria.  Hampir setahun  lamanya  ia  menikmati kehidupan  penjara. Selepas dari penjara, ia kembali meneruskan belajarnya di Universitas Fuad I.

Pada  1341  H/1922  M Zaki Mubarak  memeroleh  kesempatan  untuk mengikuti  program  Ph. D. di universitas yang  sama.  Sebagai kelengkapan penyelesaian program tersebut, ia menyusun sebuah disertasi berjudul ‘Al-Akhlâq ‘inda Al-Ghazâlî (Akhlak Menurut Al-Ghazali)’. Semangatnya yang membara ketika mengikuti Revolusi 1919 tampaknya belum mereda ketika ia menulis disertasi itu. Dalam disertasi tersebut, ia melabrak sikap ulama raksasa Zaman Pertengahan itu, yang mengucilkan diri dari riuh rendah yang membahana akibat Perang Salib pada masanya.

Dua  tahun kemudian,  tepatnya  pada Kamis, 11 Syawwal 1342 H/15  Mei 1924 M, ia berhasil meraih gelar Ph.D dengan mengajukan disertasi tersebut. Pada hari itu, untuk pertama kalinya Universitas Mesir menguji seorang calon pemegang gelar doktor pertama jebolan universitas itu. Dengan cemerlang, disertasi tersebut berhasil ia pertahankan. Gemuruh tepuk tangan memenuhi auditorium universitas tersebut ketika para penguji mengucapkan selamat kepada Zaki Mubarak atas keberhasilannya dalam mempertahankan disertasinya dan sebagai pemegang gelar doktor pertama. Seusai menyabet gelar tersebut, Zaki Mubarak diangkat sebagai staf pengajar di  almamaternya. Dan, pada 1346 H/1927 M, ia berangkat  ke  Paris, Perancis untuk mengikuti program doktor kedua di Universitas  Sorbonne. Program itu ia selesaikan pada Sabtu, 7 Dzulhijjah 1349 H/25 April 1931 M dengan disertasi tentang “Prosa Puitis pada Abad ke-4 Hijriah”.

Selepas tiba kembali ke negerinya, sastrawan yang pernah menggubah  puisi sepanjang sekitar 30.000 baris ini menjadi staf pengajar sastra Arab di American University in Cairo dan Lycée Français, KairoLantas, pada 1356  H/1937  M, ia berhasil meraih gelar Ph.D  ketiga,  dengan disertasi berjudul “Al-Tashawwuf Al-Islâmî fî Al-Adâb wa Al-Akhlâq” (Tasawuf Islam dalam Sastra dan Akhlak), dari Universitas Fuad I (kini Universitas Kairo).

Tiga tahun selepas meraih gelar doktor ketiga, kegembiraan ilmuwan yang mendapat sebutan “Dakâtirah” (ilmuwan yang meraih tiga gelar doktor) dalam memertahankan disertasi pertamanya sirna. Kini, ia revisi pandangan lamanya yang mencela habis-habisan sikap Al-Ghazali. Ucapnya, “Selepas bertahun-tahun berlalu, saya akhirnya memahami, Al-Ghazali bukan seorang pengecut. Tetapi, ia seorang filosuf.” Selepas itu, ia  ingin  mengajukan  disertasi keempatnya  di  Universitas Alexandria. Lagi-lagi sebuah kajian tentang Al-Ghazali. Sayang, disertasi keempat tidak terselesaikan karena ia mengalami kecelakaan lalu lintas dan berpulang beberapa jam kemudian pada Rabu, 25 Rabi‘ Al-Akhir 1371 H/23 Januari 1952 M.

Di sisi lain, dalam perjalanan hidup ilmuwan yang terkenal tajam tulisan-tulisannya, selanjutnya, selain menjadi staf pengajar di berbagai universitas di Mesir dan Irak, ia juga menjadi seorang kolumnis dan penulis yang produktif. Malah, selama seperempat abad ia menjabat sebagai pemimpin redaksi koran Al-Balâgh  dan  kerap  terlibat  dalam  polemik  keras dengan   sejumlah cendekiawan  Mesir  kala  itu. Antara lain  Ahmad  Amin,  Thaha Husain, Al-‘Aqqad, dan Salamah Musa. Karya-karyanya, antara  lain, adalah Al-Tashawwuf  Al-Islâmî fî Al-Adâb wa Al-Akhlâq dan Al-Madâ’ih Al-Nabawiyyah fî Al-Adâb Al-‘Arabî.

Perjalanan hidup yang menarik seorang ilmuwan: penuh pergolakan pemikiran. Dan, perjalanan hidup sang ilmuwan memberikan suatu pelajaran indah: tidak malu mengakui kekeliruan pandangan lamanya ketika tahu bahwa pandangannya tersebut memang keliru dan tidak bersikap sombong serta jumawa. Sikap kesatria dan sikap indah yang patut ditiru!


No comments: