ZAKI MUBARAK:
Ilmuwan “Kaya Warna” yang Tidak Malu Merevisi
Pandangan Ilmiahnya
Wajahnya bulat telur. Hidungnya mancung.
Kumisnya model kumis Charlie Chaplin. Memang, ilmuwan Muslim yang satu
ini sekocak si Chaplin. Tetapi, bila ia sedang berpikir keras, wajahnya yang
kocak pun sirna. Lebih-lebih bila ia sedang membicarakan dunia persufian, alias
tasawuf. Dunia tasawuf, memang, merupakan salah satu puncak pengkajiannya.
Perhatian ilmuwan bernama Zaki Mubarak ini, terhadap dunia tasawuf, dapat
dimengerti bila kita tahu latar belakang keluarga dan obsesinya. Ia lahir dalam
lingkungan keluarga petani miskin, pada 1311 H/5 Agustus 1892 M, di sebuah desa
di tepi Sungai Nil, Mesir, Sanatris, Al-Minufiyyah. Kehidupan desa dan
kemiskinan bukan hal yang asing baginya. Kemudian ayahandanya, selaras dengan
nazarnya, memerintahkan ia menghapal Al-Quran ketika ia mulai belia di sebuah kuttâb
(Taman Pendidikan Al-Quran). Dengan patuh ia melaksanakan keinginan ayahandanya yang begitu
mencintainya, karena ia adalah putra satu-satunya yang tetap hidup
ketika dilahirkan. Segera, ia berhasil
menghapal seluruh Al-Quran. Meski hapal Al-Quran, ia
terkenal bandel. Malah, suatu hari, ia pernah nyaris mati tenggelam di Sungai
Nil. Pada saat lain, ia nyaris tewas karena jatuh dari atas rumah.
Lantas, ketika
berumur 16 tahun, seperti
kebanyakan anak-anak desanya, Zaki Mubarak telah menikah. Istrinya
tiga tahun lebih muda
ketimbang dirinya. Meski mereka
menikah dalam usia muda, namun pernikahan
mereka berlangsung aman hingga
ia berpulang. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai
lima anak. Setahun kemudian, ayahandanya meminta ia agar belajar di Sekolah
Menengah Umum Al-Azhar.
Dengan penuh semangat permintaan itu ia
penuhi. Pada 1326 H/1908 M ia diterima di lembaga pendidikan yang telah berusia
lebih dari seribu tahun itu. Selama
tujuh tahun ia lalui sebagian hidupnya di sana.
Rampung belajar
di Al-Azhar, Zaki
Mubarak muda kemudian mendaftarkan diri
di Fakultas Sastra Universitas Fuad
I (kini Universitas Kairo).
Ia baru diterima pada 1335 H/1916
M. Baru tiga tahun
belajar di universitas ini, di
negerinya meletus Revolusi 1919 menentang penjajah Inggris. Dengan
penuh semangat ia mendukung
revolusi itu. Selepas selama
tiga bulan menjadi buron, ia
akhirnya tertangkap. Ia pun
dijebloskan ke dalam bui di Alexandria. Hampir setahun lamanya
ia menikmati kehidupan penjara. Selepas dari penjara, ia kembali meneruskan
belajarnya di Universitas Fuad I.
Pada 1341
H/1922 M Zaki Mubarak memeroleh
kesempatan untuk mengikuti program
Ph. D. di universitas yang
sama. Sebagai kelengkapan penyelesaian program tersebut, ia menyusun sebuah
disertasi berjudul ‘Al-Akhlâq ‘inda Al-Ghazâlî (Akhlak Menurut Al-Ghazali)’.
Semangatnya yang membara ketika mengikuti Revolusi 1919 tampaknya belum mereda
ketika ia menulis disertasi itu. Dalam disertasi tersebut, ia melabrak sikap
ulama raksasa Zaman Pertengahan itu, yang mengucilkan diri dari riuh rendah
yang membahana akibat Perang Salib pada masanya.
Dua tahun kemudian, tepatnya
pada Kamis, 11 Syawwal 1342 H/15
Mei 1924 M, ia berhasil meraih gelar Ph.D dengan mengajukan disertasi tersebut. Pada hari itu, untuk pertama kalinya Universitas Mesir menguji
seorang calon pemegang gelar doktor pertama jebolan universitas itu. Dengan
cemerlang, disertasi tersebut berhasil ia pertahankan. Gemuruh tepuk tangan memenuhi
auditorium universitas tersebut ketika para penguji mengucapkan selamat kepada
Zaki Mubarak atas keberhasilannya dalam mempertahankan disertasinya dan sebagai
pemegang gelar doktor pertama. Seusai menyabet gelar tersebut, Zaki Mubarak diangkat sebagai staf pengajar di almamaternya. Dan, pada 1346 H/1927 M,
ia berangkat ke Paris, Perancis untuk mengikuti program
doktor kedua di Universitas Sorbonne.
Program itu ia selesaikan pada Sabtu, 7 Dzulhijjah 1349 H/25 April 1931
M dengan disertasi tentang “Prosa Puitis pada Abad ke-4 Hijriah”.
Selepas tiba
kembali ke negerinya, sastrawan yang pernah menggubah puisi sepanjang sekitar 30.000 baris ini menjadi staf pengajar sastra Arab di American University in Cairo dan Lycée
Français, Kairo. Lantas, pada
1356 H/1937 M, ia
berhasil meraih gelar Ph.D ketiga, dengan disertasi berjudul “Al-Tashawwuf
Al-Islâmî fî Al-Adâb wa Al-Akhlâq” (Tasawuf Islam dalam
Sastra dan Akhlak), dari
Universitas Fuad I (kini Universitas Kairo).
Tiga tahun
selepas meraih gelar doktor ketiga, kegembiraan ilmuwan yang mendapat sebutan
“Dakâtirah” (ilmuwan yang meraih tiga gelar doktor) dalam memertahankan
disertasi pertamanya sirna. Kini, ia revisi pandangan lamanya yang mencela
habis-habisan sikap Al-Ghazali. Ucapnya, “Selepas bertahun-tahun berlalu, saya
akhirnya memahami, Al-Ghazali bukan seorang pengecut. Tetapi, ia seorang
filosuf.” Selepas itu, ia ingin mengajukan
disertasi keempatnya di Universitas Alexandria. Lagi-lagi sebuah kajian tentang Al-Ghazali. Sayang, disertasi keempat
tidak terselesaikan karena ia mengalami kecelakaan lalu lintas dan berpulang
beberapa jam kemudian pada Rabu, 25 Rabi‘ Al-Akhir 1371 H/23
Januari 1952 M.
Di sisi lain,
dalam perjalanan hidup ilmuwan yang terkenal tajam tulisan-tulisannya, selanjutnya,
selain
menjadi staf pengajar di berbagai universitas
di Mesir dan Irak, ia juga menjadi seorang
kolumnis dan penulis yang produktif. Malah, selama seperempat abad ia menjabat
sebagai pemimpin redaksi koran Al-Balâgh
dan kerap terlibat
dalam polemik keras dengan sejumlah cendekiawan Mesir
kala itu. Antara lain Ahmad
Amin, Thaha Husain,
Al-‘Aqqad, dan Salamah Musa. Karya-karyanya, antara lain, adalah Al-Tashawwuf Al-Islâmî fî Al-Adâb wa Al-Akhlâq dan Al-Madâ’ih
Al-Nabawiyyah fî Al-Adâb Al-‘Arabî.
Perjalanan hidup
yang menarik seorang ilmuwan: penuh pergolakan pemikiran. Dan, perjalanan hidup
sang ilmuwan memberikan suatu pelajaran indah: tidak malu mengakui kekeliruan
pandangan lamanya ketika tahu bahwa pandangannya tersebut memang keliru dan
tidak bersikap sombong serta jumawa. Sikap kesatria dan sikap indah yang patut
ditiru!
No comments:
Post a Comment