AL-MARBAWI:
Penyusun Kamus Arab-Melayu Generasi Pertama
Ketika sedang menimba ilmu di program pascasarjana di Universitas Kairo,
Mesir, pada awal tahun 1980-an, saya di bawah bimbingan Prof Dr Ahmad Shalaby
(almarhum), seorang pakar terkemuka di bidang sejarah dan kebudayaan Islam di
Timur Tengah. Dalam bimbingan itu, saya bersama dua sahabat dari Malaysia.
Kedua sahabat tersebut adalah Dr Wan Ahmad (almarhum), yang kemudian menjadi
pensyarah (dosen) di Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, dan Dr Zaki Ahmad Brahim,
yang kemudian menjadi pensyarah di Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
Hubungan saya dengan mereka berdua dapat dikatakan seperti saudara.
Karena itu, saya kerap berkunjung ke tempat tinggal Dr Wan Ahmad yang berasal
dari Kelantan. Beliau (yang juga pernah menimba ilmu di Institut Agama Islam
Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, seperti halnya saya), kala itu, tinggal di
sebuah flat di kawasan ‘Atabah, di antara Terminal Bus ‘Atabah dan Masjid
Al-Azhar serta tidak jauh dari Medan Opera yang ditandai dengan patung
Ibrahim Pasya (1203-1264
H/1789-1848 M) yang sedang naik kuda dengan gagahnya seraya
mengacungkan tangan kanannya: sebuah patung buah karya Charles Henri
Joseph Cordier (1242-1323 H/1827-1905 M).
Suatu hari, ketika sedang berkunjung ke flat Dr Wan Ahmad, yang
tidak jauh dari Al-Azhar Str.,
sebuah jalan yang “menyembunyikan”
suatu kekayaan kultural dan arsitektural Islam yang sangat kaya, tiba-tiba beliau bertanya,
“Apa Rofi’ pernah tengok tempat tinggal Syeikh Muhammad Idris bin ‘Abdurrauf
Al-Marbawi? Jika belum pernah, mari kita tengok tempat tinggal beliau. Beliau
tinggal tidak jauh dari sini.”
Tentu, betapa gembira saya diajak berkunjung ke tempat tinggal seorang
ulama terkemuka
Malaysia yang pakar di bidang bahasa Arab, ilmu hadis, tafsir
Al-Quran, dan fikih yang namanya
berpendar lewat karyanya, Al-Qâmûs Al-Marbawî, karena saya belum pernah berkunjung ke tempat tinggal beliau. Segera,
kami pun berkunjung ke tempat tinggal ulama yang kamus susunannya telah saya
miliki ketika saya sedang menimba ilmu di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta
pada tahun-tahun 1970-an.
Kini, siapakah
jati diri penyusun kamus Arab-Melayu tersebut?
Lahir di Misfalah, Makkah pada
Selasa, 28 Dzulqa‘dah 1313
H/12 Mei 1896 M, Al-Marbawi pertama-tama menimba ilmu di Kota
Suci itu. Kala berusia 10
tahun, ia telah hapal 16 juz Al-Quran, di samping beberapa kitab lain. Tiga
tahun kemudian, tepatnya pada 1333 H/1913 M, ia pulang ke tanah airnya
bersama keluarganya.
Setiba di Malaysia, Al-Marbawi
muda mendapat pendidikan pertama di
Sekolah Melayu Lubuk Merbau (dari
sinilah asal sebutan “Al-Marbawi”
baginya), Perak. Selepas itu, ia melanjutkan pendidikannya di sejumlah sekolah
pondok, seperti Sekolah Pondok Syaikh
Wan Muhammad di Bukit Chandan, Kuala Kangsar, Pondok Tuan Hussain
Al-Masudi di Kedah, Pondok Syaikh Ahmad
Fatani di Bukit Mertajam,
dan Pondok To’ Kenali di Kelantan. Seusai menimba ilmu di sekolah-sekolah tersebut, ia kemudian
bertugas sebagai guru di Perak.
Merasa kurang
puas dengan ilmu yang ia dapatkan
kala itu, Al-Marbawi lantas merantau ke Kairo, Mesir,
untuk memasuki Universitas Al-Azhar. Gelar al-‘âlimiyyah ia raih pada 1343 H/1924 M. Selepas itu,
ulama yang mendapat
anugerah “Ijazah Kehormatan
Doktor Persuratan” dari Universiti
Kebangsaan Malaysia ini menetap di
Kota Piramid itu hingga menjelang berpulang
ke hadirat Allah. Ketika masih sebagai mahasiswa Universitas Al-Azhar,
ia juga ikut serta membidani terbitnya jurnal Seroean Azhar, bersama sejumlah
mahasiswa Indonesia, antara lain Mahmud Junus, Iljas Jacub, Raden Fathurrahman,
dan Djanan Thaib. Penerbitan jurnal tersebut dimaksudkan untuk membangun
kesatuan dan kemajuan bangsa, penyebaran ilmu, dan penyaluran sikap
anti-penjajahan.
Selama bermukim di kota yang
didirikan seorang panglima Dinasti Fathimiyyah, Jawhar Al-Shiqqili, itu pulalah ulama yang kerap berkelana ke berbagai kawasan Timur Tengah ini
menyusun sebuah kamus Arab-Melayu
pertama yang membuat namanya berpendar, Al-Qâmûs
Al-Marbawi. Kamus ini pertama kali diterbitkan pada 1356
H//1937 M. Sejatinya, semula karya itu disusun bersama dua orang lain, yaitu Syeikh
Juneid Tola dan Syeikh Thahir Jalaluddin. Tetapi, kedua orang tersebut kemudian
pulang ke negeri mereka. Karena itu, akhirnya, kamus itu diselesaikan
Al-Marbawi sendirian.
Di samping kamus yang
hingga dewasa ini masih banyak dipakai
di berbagai lembaga pendidikan di Asia Tenggara tersebut, ulama
yang berpulang di Ipoh, Perak, Malaysia pada Jumat, 12
Rabi‘ Al-Awwal 1410 H/13 Oktober 1989 M ini
juga menyusun sejumlah karya
tulis. Antara lain Kitâb Bahr Al-Madhi,
Tafsîr Al-Qur’ân Al-Marbawi, Syarh Kitâb Bulûgh Al-Marâm, Kitâb Jâmi‘ Al-‘Ulûm,
Ushûl Al-Islâm, Nizhâm Al-Hayah, dan Mu‘jam
Al-Kâ’inât.
Perjalanan hidup
tokoh kita kali ini sekali lagi mengukuhkan,
dunia tulis menulis sejatinya sangat lekat dengan kehidupan para ulama dan
ilmuwan Muslim terkemuka. Di mana pun dan kapan pun!
No comments:
Post a Comment