Tuesday, July 8, 2014

KIAI SALEH DARAT:
Ulama Kondang yang Guru Pendiri NU dan Pendiri Muhammadiyah

Semarang, tentu Anda tahu kota yang satu ini!

Mungkin Anda juga tahu, kota yang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini memiliki warisan arsitektural yang kaya. Utamanya di kawasan Kota Lama. Lembaran sejarah menorehkan, kawasan yang pernah disebut “Outstadt” dan “Little Nederland” serta dihiasi sekitar 50 bangunan kuno itu tidak lepas dari sejarah Kerajaan Mataram Islam. Pada  1089 H/1678 M, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie, alias United East India Company) menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Mataram, yang berpusat di Kartasura. Saat itulah Sri Susuhunan Amangkurat II menyerahkan Semarang kepada VOC, sebagai upeti karena dianggap berhasil membantu Mataram dalam menumpas Trunojoyo yang dianggap pemberontak.

Dengan kekuasaan penuh atas Kota Semarang, VOC lantas mulai membangun Kota Semarang. Pembangunan ini diawali dengan pendirian Benteng de Vijfhoek sebagai pusat komunitas orang Belanda dan pusat militer. Kian lama orang Belanda kian banyak dan tidak dapat ditampung di dalam benteng. Akhirnya, ada juga yang membangun rumah di sisi timur benteng. Tidak hanya rumah orang Belanda, gedung pemerintahan, dan perkantoran juga dibangun.

Pembangunan Kota Lama tersebut, yang kala itu dikenal dengan sebutan de Europeesche Buurt, disesuaikan dengan konsep tata kota kota-kota di Eropa. Utamanya Belanda. Baik secara arsitektur bangunan maupun kawasan. Jika mayoritas kerajaan Jawa, dalam mengatur kota, lebih memerhatikan konsep arah mata angin, maka Kota Lama didesain dengan pola radial dan berpusat di Gereja mBlenduk. Ini karena memang orang Belanda saat itu beragama Kristen. Gereja mBlenduk bersisian dengan gedung pemerintahan. Sebagai moda transportasi unggulan kala itu, kanal-kanal air dibangun dan menjangkau hampir semua sudut Kota Lama.

Selain “dihiasi” Kota Lama, ternyata Kota Semarang juga dilengkapi dengan sebuah pemakaman umum utama. Pemakaman yang terletak di kawasan selatan kota itu adalah Pemakaman Umum Bergota (berasal dari Pragota, nama Semarang tempo doeloe). “Pemakaman Bergota setiap hari saya lewati ketika sedang menimba ilmu  Fakultas Kedokteran Univertas Diponegoro,” ucap istri saya tentang pemakaman tersebut. Nah, di pemakaman tersebut, ternyata, terdapat pekuburan seorang ulama kondang yang menjadi guru sejumlah ulama terkemuka di Nusantara. Termasuk pendiri dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, KH Hasyim Asy‘ari dan KH Ahmad Dahlan.

Kini, siapakah ulama kondang tersebut?

Kiai Muhammad Saleh Darat, itulah nama ulama kondang tersebut. Seorang ulama terkemuka Indonesia, pada abad ke-13 H/19 M, yang juga seorang penulis karya-karya di bidang fikih, teologi, tasawuf, dan ilmu falak ini sejatinya tidak lahir di Semarang. Desa Kedung Jumbleng, Mayong, Jepara, Jawa Tengah, itulah tempat kelahirannya  sekitar 1235 H/1820 M. Meski lahir di Jepara, namun ulama ini lebih suka menyebut nama dirinya, dalam karya-karyanya, Syeikh Haji Muhammad Shalih bin ‘Umar Al-Samarani. “Al-Samarani” di belakang namanya itu berarti “orang Semarang. Sedangkan imbuhan kata “Darat”, di belakang  namanya, untuk menunjukkan tempat ia tinggal selepas pulang dari Makkah: Kampung Darat, sebuah kampung di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.

Selepas menimba ilmu kepada ayahandanya (seorang ulama yang menjadi kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda di wilayah pesisir utara Jawa), selaras dengan tradisi yang berlaku di kalangan kaum santri kala itu, Saleh muda lantas menimba ilmu kepada sejumlah ulama di Jawa kala itu. Antara lain Kiai Haji (KH) Syahid, ulama besar di Waturoyo, Pati, KH Muhammad Saleh Asnawi, Kudus, KH Ishaq Damaran, KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (mufti Semarang), KH Ahmad Bafaqih Ba’lawi, dan KH Abdul Gani Bima.

Seusai menimba ilmu di Jawa, ulama seangkatan dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani, Banten dan Syeikhuna Khalil Bangkalan, Madura ini lantas menuju Singapura. Selepas menimba ilmu di Singapura beberapa lama, seraya menanti kapal yang akan membawanya ke Jeddah, ia lantas melanjutkan “kelana ilmiah”nya menuju Makkah Al-Mukarramah, Arab Saudi. Kala itu, Makkah memang merupakan “kawah candramuka” para calon ulama Indonesia. Tidak aneh jika Kota Suci ini dan para pendatang dari Indonesia, kala itu, menjadi pusat penelitian Christiaan Snouck Hurgronye, seorang orientalis terkemuka asal Belanda kala itu. Dalam sebuah karyanya yang merupakan hasil penelitiannya berjudul Mekka  in  the latter  part  of  the  Nineteenth Century, ia antara lain mencatat,  “…Di  sinilah terletak jantung  kehidupan  agama  Kepulauan Nusantara,  juga saluran memompakan darah segar dari  kawasan  ini dengan  kecepatan  yang kian meningkat  kepada  seluruh  warga Muslim di Indonesia. Di sinilah terletak hulu jaringan kumpulan-kumpulan  tarekat di Jawa. Dari sini pula mereka  memeroleh  bacaan-bacaan  yang digunakan di tempat-tempat pendidikan  agama.” Suatu penelitian dan pengamatan yang cermat.

Selama berada Tanah Suci, Saleh muda menimba ilmu kepada sejumlah ulama terkemuka kala itu. Antara lain Syeikh Muhammad Al-Maghribi, Syeikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Yusuf Al-Mishri, dan Syeikh Jamal Al-Hanafi. Dari nama para ulama yang menjadi gurunya selama di Tanah Suci tampak, ia adalah seorang ulama bercorak “ensiklopedis”. Dengan kata lain, ia tidak hanya mendalami satu disiplin ilmu saja. Hal itu terbukti dari pelbagai disiplin ilmu yang ia ajarkan selepas menetap di Semarang. Di samping menimba ilmu, ia kemudian juga mengajar di Kota Suci itu.  

Seusai merantau ke Makkah, Kiai Saleh Darat lantas kembali ke Tanah Air dan bermukim di Semarang. Di kota terakhir tersebut, ia mengelola dan mengajar di pesantren yang dikelola mertuanya, KH Murtadha. Dengan bergulirnya waktu, pesantren itu berkembang pesat. Banyak muridnya yang di kemudian hari menjadi ulama terkenal, antara lain Syeikh Mahfuzh Al-Tarmisi, pendiri Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, KH Hasyim Asy‘ari, pendiri Nahdlatul Ulama, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah,  KH Idris, pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo, KH Sya‘ban, seorang ulama ahli ilmu falak, Pengulu Tafsir Anom dari Keraton Solo, KH Dalhar, pendiri Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan, dan KH Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Selain itu, ulama ini juga merupakan guru ruhaniah Raden Ajeng Kartini yang mengikuti pengajian sang kiai di pendopo Kesultanan Demak.

Di samping mengajar, kiai yang berpulang di Semarang pada Jumat, 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 H ini juga meninggalkan sejumlah karya tulis. Karya-karyanya, antara lain, adalah Majmû‘ah Al-Syarî‘ah Al-Kâfiyyah li Al-‘Awwâm, Kitâb Munjiyyât, Al-Hikam (terjemahan), Lathâ’if Al-Thahârah, Kitâb Manâsik Al-Haj wa Al-‘Umrah, Kitab Pasolatan, Sabîl Al-‘Âbid ‘alâ Jauharah Al-Tauhîd, Kitâb Minhâj Al-Atqiyâ’ fî Syarh Ma‘rifah Al-Adzkiyâ’, Al-Mursyid Al-Wâjiz li ‘Ilm Al-Qur’ân, Kitâb Syarh Al-Burdah, dan Kitâb (Tafsir) Faidh Al-Rahmân.

Perjalanan hidup sang ulama memberikan satu pelajaran yang indah: “merantau untuk menimba ilmu dan menekuni dunia tulis menulis”, ternyata juga menjadi bagian dari kehidupan ulama kondang yang senantiasa merendah ini. Selain itu, dari perguruan yang sama dapat lahir para tokoh yang berpandangan tidak sama, tetapi mereka tetap bersahabat dan bersaudara. Teladan yang indah!



No comments: