KIAI SALEH DARAT:
Ulama Kondang yang Guru Pendiri NU dan Pendiri
Muhammadiyah
Semarang, tentu Anda tahu kota yang satu
ini!
Mungkin Anda juga tahu, kota yang
merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini memiliki warisan arsitektural yang
kaya. Utamanya di kawasan Kota Lama. Lembaran sejarah menorehkan, kawasan yang
pernah disebut “Outstadt” dan “Little Nederland” serta dihiasi sekitar 50
bangunan kuno itu tidak lepas dari sejarah Kerajaan Mataram Islam. Pada 1089 H/1678 M, VOC (Vereenigde
Oostindische Compagnie, alias United East India Company) menandatangani
perjanjian dengan Kerajaan Mataram, yang berpusat di Kartasura. Saat itulah Sri
Susuhunan Amangkurat II menyerahkan Semarang kepada VOC, sebagai upeti karena
dianggap berhasil membantu Mataram dalam menumpas Trunojoyo yang dianggap
pemberontak.
Dengan kekuasaan penuh atas Kota
Semarang, VOC lantas mulai membangun Kota Semarang. Pembangunan ini diawali
dengan pendirian Benteng de Vijfhoek sebagai pusat komunitas orang Belanda dan
pusat militer. Kian lama orang Belanda kian banyak dan tidak dapat ditampung di
dalam benteng. Akhirnya, ada juga yang membangun rumah di sisi timur benteng.
Tidak hanya rumah orang Belanda, gedung pemerintahan, dan perkantoran juga
dibangun.
Pembangunan Kota Lama tersebut, yang
kala itu dikenal dengan sebutan de Europeesche Buurt, disesuaikan dengan konsep
tata kota kota-kota di Eropa. Utamanya Belanda. Baik secara arsitektur bangunan
maupun kawasan. Jika mayoritas kerajaan Jawa, dalam mengatur kota, lebih memerhatikan
konsep arah mata angin, maka Kota Lama didesain dengan pola radial dan berpusat
di Gereja mBlenduk. Ini karena memang orang Belanda saat itu beragama Kristen.
Gereja mBlenduk bersisian dengan gedung pemerintahan. Sebagai moda transportasi
unggulan kala itu, kanal-kanal air dibangun dan menjangkau hampir semua sudut
Kota Lama.
Selain “dihiasi” Kota Lama, ternyata Kota
Semarang juga dilengkapi dengan sebuah pemakaman umum utama. Pemakaman yang
terletak di kawasan selatan kota itu adalah Pemakaman Umum Bergota (berasal
dari Pragota, nama Semarang tempo doeloe). “Pemakaman Bergota setiap
hari saya lewati ketika sedang menimba ilmu
Fakultas Kedokteran Univertas Diponegoro,” ucap istri saya tentang
pemakaman tersebut. Nah, di pemakaman tersebut, ternyata, terdapat pekuburan
seorang ulama kondang yang menjadi guru sejumlah ulama terkemuka di Nusantara.
Termasuk pendiri dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah, KH Hasyim Asy‘ari dan KH Ahmad Dahlan.
Kini, siapakah ulama kondang tersebut?
Kiai Muhammad Saleh Darat, itulah nama ulama
kondang tersebut. Seorang ulama terkemuka
Indonesia, pada abad ke-13 H/19 M, yang juga seorang penulis karya-karya di bidang fikih, teologi, tasawuf,
dan ilmu falak
ini sejatinya tidak
lahir di Semarang. Desa Kedung Jumbleng, Mayong, Jepara, Jawa Tengah, itulah tempat
kelahirannya sekitar 1235
H/1820 M. Meski lahir di Jepara, namun ulama ini lebih
suka menyebut nama dirinya, dalam
karya-karyanya, Syeikh Haji Muhammad Shalih bin ‘Umar
Al-Samarani.
“Al-Samarani” di
belakang namanya itu berarti “orang Semarang”. Sedangkan imbuhan kata “Darat”, di
belakang namanya, untuk menunjukkan tempat ia tinggal selepas pulang dari Makkah: Kampung Darat, sebuah kampung
di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.
Selepas menimba ilmu kepada ayahandanya (seorang ulama yang menjadi kepercayaan Pangeran
Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda di wilayah pesisir utara Jawa), selaras
dengan tradisi yang berlaku di kalangan kaum santri kala itu, Saleh muda lantas menimba ilmu kepada sejumlah ulama di Jawa kala itu. Antara lain Kiai Haji (KH) Syahid, ulama besar di Waturoyo, Pati, KH Muhammad Saleh
Asnawi, Kudus, KH Ishaq Damaran, KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (mufti
Semarang), KH Ahmad Bafaqih Ba’lawi, dan KH Abdul Gani Bima.
Seusai menimba ilmu di Jawa, ulama seangkatan dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani, Banten dan
Syeikhuna Khalil Bangkalan, Madura ini lantas menuju Singapura. Selepas menimba ilmu di Singapura beberapa lama,
seraya menanti kapal yang akan membawanya ke Jeddah, ia lantas melanjutkan “kelana ilmiah”nya menuju Makkah Al-Mukarramah, Arab Saudi. Kala
itu, Makkah memang merupakan “kawah candramuka” para calon ulama Indonesia.
Tidak aneh jika Kota Suci ini dan para pendatang dari Indonesia, kala itu,
menjadi pusat penelitian Christiaan Snouck Hurgronye, seorang orientalis
terkemuka asal Belanda kala itu. Dalam sebuah karyanya yang merupakan hasil
penelitiannya berjudul Mekka in the latter
part of the
Nineteenth Century, ia antara lain mencatat, “…Di
sinilah terletak jantung
kehidupan agama Kepulauan Nusantara, juga saluran memompakan darah segar dari kawasan
ini dengan kecepatan yang kian meningkat kepada
seluruh warga Muslim di
Indonesia. Di sinilah terletak hulu jaringan kumpulan-kumpulan tarekat di Jawa. Dari sini pula mereka memeroleh
bacaan-bacaan yang digunakan di
tempat-tempat pendidikan agama.” Suatu
penelitian dan pengamatan yang cermat.
Selama berada Tanah Suci, Saleh muda menimba
ilmu kepada sejumlah ulama terkemuka kala itu. Antara lain Syeikh Muhammad Al-Maghribi, Syeikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Yusuf Al-Mishri, dan Syeikh Jamal Al-Hanafi. Dari nama para ulama yang menjadi
gurunya selama di Tanah Suci tampak, ia adalah seorang ulama bercorak “ensiklopedis”.
Dengan kata lain, ia tidak hanya mendalami satu disiplin ilmu saja. Hal itu
terbukti dari pelbagai disiplin ilmu yang ia ajarkan selepas menetap di
Semarang. Di samping menimba ilmu, ia kemudian juga mengajar di Kota Suci
itu.
Seusai merantau ke Makkah, Kiai Saleh Darat lantas
kembali ke Tanah Air dan bermukim di Semarang. Di kota
terakhir tersebut, ia mengelola dan mengajar di pesantren yang dikelola mertuanya, KH Murtadha. Dengan bergulirnya waktu,
pesantren itu berkembang pesat. Banyak muridnya yang
di kemudian hari menjadi ulama terkenal, antara lain Syeikh Mahfuzh Al-Tarmisi, pendiri Pondok Pesantren
Tremas, Pacitan, KH Hasyim Asy‘ari, pendiri Nahdlatul Ulama, KH
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, KH
Idris, pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo, KH Sya‘ban, seorang ulama ahli
ilmu falak, Pengulu Tafsir Anom dari Keraton Solo, KH Dalhar, pendiri Pondok
Pesantren Watucongol, Muntilan, dan KH Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Selain itu, ulama ini juga merupakan guru ruhaniah Raden Ajeng Kartini yang
mengikuti pengajian sang kiai di pendopo Kesultanan Demak.
Di samping mengajar, kiai yang berpulang di Semarang pada
Jumat, 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 H ini juga meninggalkan sejumlah karya tulis. Karya-karyanya,
antara lain, adalah Majmû‘ah Al-Syarî‘ah Al-Kâfiyyah li Al-‘Awwâm, Kitâb
Munjiyyât, Al-Hikam (terjemahan), Lathâ’if Al-Thahârah, Kitâb
Manâsik Al-Haj wa Al-‘Umrah, Kitab Pasolatan, Sabîl Al-‘Âbid ‘alâ
Jauharah Al-Tauhîd, Kitâb Minhâj Al-Atqiyâ’ fî Syarh Ma‘rifah
Al-Adzkiyâ’, Al-Mursyid Al-Wâjiz li ‘Ilm Al-Qur’ân, Kitâb Syarh
Al-Burdah, dan Kitâb (Tafsir) Faidh Al-Rahmân.
Perjalanan hidup sang ulama memberikan satu pelajaran yang indah: “merantau untuk menimba ilmu
dan menekuni dunia tulis menulis”, ternyata juga menjadi bagian dari kehidupan
ulama kondang yang senantiasa merendah ini. Selain itu, dari perguruan yang
sama dapat lahir para tokoh yang berpandangan tidak sama, tetapi mereka tetap
bersahabat dan bersaudara. Teladan yang indah!
No comments:
Post a Comment