Thursday, July 3, 2014

SYEIKH MAHFUZH AL-TARMISI:
Ulama yang Penulis Produktif

Pada tahun ini, 2014, sejumlah ulama dan kiai berpulang. Sedih, itulah suasana hati saya setiap kali mendengar ada ulama atau kiai yang menghadap Sang Pencipta. Sedih, karena kepulangan mereka berarti ilmu dan pengalaman berharga mereka pun sirna pula bersama kepulangan mereka. Kesedihan hati saya kian membuncah ketika tahu, ternyata mereka tidak meninggalkan karya tulis sama sekali. “Duh, sirna sudah ‘warisan’ (ilmu dan pengalaman) bernilai mereka, karena mereka tidak menuangkan ‘warisan’ itu dalam karya tulis. Apakah menjadi ulama atau kiai menjadi penghalang untuk juga menjadi penulis? Tidak. Menjadi ulama dan kiai tidak menjadi penghalang untuk menjadi penulis. Contohnya adalah Syeikh Muhammad Mahfuzh bin ‘Abdullah Al-Tarmisi,” gumam pelan bibir saya.

Syeikh Mahfuzh Al-Tarmisi, bagaimanakah kisah hidupnya?

Desa Tremas, Pacitan, sebuah desa di bagian selatan Jawa Timur, di lingkungan Pondok Pesantren Tremas, itulah tempat kelahiran ulama yang satu ini. Lahir pada Selasa, 12 Jumada Al-Ula 1285 H/31 Agustus 1868 M, pada akhir tahun 1880-an ia belajar kepada seorang ulama kenamaan di Jawa kala itu, yaitu Kiai Saleh nDarat, Semarang. Di bawah bimbingan kiai kondang yang seangkatan dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Syeikhuna Khalil Bangkalan itu, Mahfuzh muda  memelajari Syarh Al-HikamTafsîr Al-JalâlainSyarh Al-Mardînî, dan Wasîlah Al-Thullâb. Selepas beberapa tahun di bawah bimbingan Kiai Saleh nDarat, putra Kiai Haji ‘Abdullah bin ‘Abdul Mannan, seorang kiai terkemuka di kota kelahirannya, itu kemudian bertolak  ke Makkah bersama adiknya, Dimyathi, untuk menimba ilmu.

Selama menimba ilmu di Tanah Suci, Mahfuzh bin Abdullah muda kemudian berguru kepada sederet ulama terkemuka, antara lain Syeikh Ahmad Al-Minsyawi. Dari sang guru, ia  belajar qira’ah ‘Ashim (Abu Bakar ‘Ashim bin Abu Al-Najudi Al-Kufi bin Bahdalah), tajwid, dan fikihPada masa yang bersamaan, ia juga meimba ilmu kepada Syeikh ‘Umar bin Barakat Al-Syami, untuk mendalami karya Ibn Hisyam, Syarh Syudzur Al-Dzahab, kepada Syeikh Mustafa Al-‘Afifi untuk mendalami karya Al-Mahalli, Syarh Jam‘ Al-Jawâmi‘ dan Mughnî Al-Labîb, kepada Sayyid Al-Husain bin Muhammad Al-Habsyi untuk mengkaji Shahîh Al-Bukhârî,  kepada Syeikh Muhammad Sa‘id Babashail untuk mendalami Sunan Abî Dâud, Sunan Al-Tirmîdzî, dan Sunan Al-Nasâ’î, kepada Sayyid Ahmad Al-Zawawi  untuk mendalam Syarh ‘Uqûd Al-Juman dan sebagian kitab Al-Syifa’ (karya Qadhi Al-‘Iyadh), kepada Syeikh Muhammad Al-Syarbini Al-Dimyathi untuk mendalami Syarh Ibn Al-Qashîh, Syarh Al-Durrah Al-Mudhî’ah, Syarh Thaibah Al-Nasyr fî Al-Qirâ’ât Al-‘Asyar, Al-Raudh Al-Nadhir, Syarh Al-Ra‘iyyah, Ithaf Al-Basyar fî Al-Qirâ’ât Al-Arba‘ah Al-‘Asyar, dan Tafsir Al-Baidhawi, dan kepada Sayyid Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan Al-Madani serta ulama-ulama terkemuka lainnya. Sedangkan guru utamanya yang paling banyak mengajarnya pelbagai ilmu adalah Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Al-Syatha, penyusun kitab I‘ânah Al-Thâlibîn.

Karena cerdas  dan tekun, Mahfuzh Al-Tarmisi akhirnya menjadi salah seorang pengajar  di Masjid  Al-Haram, Makkah. Malah, ia dipandang  sebagai seorang pakar hadis tentang Shahîh Al-Bukhârî. Selain  itu, ia juga merupakan isnâd (mata rantai)  yang sah dalam meneruskan pengajaran Shahîh Al-Bukhârî dan diberi  hak memberikan  ijazah kepada murid-muridnya (antara lain K.H. Hasyim Asy‘ari, pendiri Nahdlatul Ulama) yang berhasil  menguasai karya  itu. Ijazah itu berasal dari Al-Bukhari sendiri  (sekitar seribu tahun yang silam) dan diserahkan secara beranting melalui 23 generasi. Kala itu, Syeikh Mahfuzh Al-Tarmisi merupakan mata rantai terakhir.

Ulama yang berwawasan luas ini berpulang pada  Ahad, 1 Rajab 1338 H/21 Maret 1920 M, dengan meninggalkan sejumlah  karya. Antara lain Al-Siqâyah Al-Mardhiyyah fî Asâmî Al-Kutub Al-Fiqhiyyah li Ashhâbinâ Al-Syâfi‘iyyah,  Muhihbah  dzi Al-Fadhl ‘alâ Syarh Al-‘Allâmah Ibn Hajar,  Kifâyah Al-Mustafîd limâ ‘Alâ min Al-Asânid,  Manhâj Dzawî Al-Nazhar fî Syarh Manzhûmah ‘Ilm Al-Âtsâr,  Nail Al-Ma‘mûl,  Al-Khil‘ah Al-Fikriyyah fî Syarh Al-Minhah Al-Khairiyyah, Al-Badr Al-Munîr fî Qirâ’ah Ibn Katsîr, Tanwîr Al-Shadr fî Qirâ’ah Ibn ‘Amr, Insyirâh Al-Fawâ’id fî Qirâ’ah Hamzah,  Ta‘mîm Al-Manâfi‘ fî Qirâ’ah Nâfi‘, Al-Fawâ’id Al-Tarmîsiyyah fî Asâmî Al-Qirâ’at Al-‘Asyariyyah, dan Is‘âf Al-Mathâli‘ Syarh Al-Badr Al-Lâmi‘. 

Perjalanan hidup ulama yang satu itu menyajikan suatu teladan indah: ketika berpulang, ia meninggalkan sejumlah karya tulis. Mungkin, ketika menyusun karya-karya tulisnya tersebut, ia ingin meneladani para ulama raksasa sebelum dirinya. Sehingga, lewat karya-karya tulis tersebut, nama mereka tidak lekang ditelan zaman dan ilmu serta pengalaman mereka tetap terwariskan dari satu zaman ke lain zaman. Misalnya, Al-Bukhari, Muslim, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Al-Qurthubi, Ibn Sina, dan lain-lainnya. Kiranya jejak indah Syeikh Mahfuzh Al-Tarmisi ini diikuti para ulama dan kiai masa kini. Juga, kita yang bukan ulama dan kiai. Semoga!


No comments: