SYEIKH MAHFUZH
AL-TARMISI:
Ulama
yang Penulis Produktif
Pada tahun ini,
2014, sejumlah ulama dan kiai berpulang. Sedih, itulah suasana hati saya setiap
kali mendengar ada ulama atau kiai yang menghadap Sang Pencipta. Sedih, karena
kepulangan mereka berarti ilmu dan pengalaman berharga mereka pun sirna pula
bersama kepulangan mereka. Kesedihan hati saya kian membuncah ketika tahu, ternyata
mereka tidak meninggalkan karya tulis sama sekali. “Duh, sirna sudah ‘warisan’
(ilmu dan pengalaman) bernilai mereka, karena mereka tidak menuangkan ‘warisan’
itu dalam karya tulis. Apakah menjadi ulama atau kiai menjadi penghalang untuk
juga menjadi penulis? Tidak. Menjadi ulama dan kiai tidak menjadi penghalang
untuk menjadi penulis. Contohnya adalah Syeikh Muhammad Mahfuzh bin ‘Abdullah
Al-Tarmisi,” gumam pelan bibir saya.
Syeikh Mahfuzh Al-Tarmisi,
bagaimanakah kisah hidupnya?
Desa Tremas,
Pacitan, sebuah desa di bagian selatan Jawa Timur, di lingkungan Pondok
Pesantren Tremas, itulah tempat kelahiran ulama yang satu ini. Lahir pada Selasa, 12 Jumada Al-Ula 1285 H/31 Agustus 1868 M, pada
akhir tahun 1880-an ia belajar kepada seorang ulama kenamaan di Jawa kala itu, yaitu Kiai Saleh nDarat, Semarang. Di bawah bimbingan
kiai kondang yang
seangkatan dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Syeikhuna Khalil Bangkalan itu,
Mahfuzh muda memelajari Syarh
Al-Hikam, Tafsîr Al-Jalâlain, Syarh
Al-Mardînî, dan Wasîlah Al-Thullâb. Selepas beberapa tahun
di bawah bimbingan Kiai Saleh nDarat, putra Kiai Haji
‘Abdullah bin ‘Abdul Mannan, seorang kiai terkemuka di kota kelahirannya, itu
kemudian bertolak ke Makkah bersama adiknya,
Dimyathi, untuk menimba ilmu.
Selama menimba
ilmu di Tanah Suci, Mahfuzh bin ‘Abdullah
muda kemudian berguru kepada sederet
ulama terkemuka, antara lain Syeikh
Ahmad Al-Minsyawi. Dari sang guru, ia belajar qira’ah ‘Ashim (Abu Bakar ‘Ashim bin Abu
Al-Najudi Al-Kufi bin Bahdalah), tajwid, dan fikih. Pada
masa yang bersamaan, ia juga meimba ilmu kepada Syeikh
‘Umar bin Barakat Al-Syami, untuk mendalami karya Ibn Hisyam, Syarh
Syudzur Al-Dzahab, kepada Syeikh
Mustafa Al-‘Afifi untuk mendalami karya Al-Mahalli, Syarh
Jam‘ Al-Jawâmi‘ dan Mughnî Al-Labîb, kepada Sayyid Al-Husain
bin Muhammad Al-Habsyi untuk mengkaji Shahîh
Al-Bukhârî, kepada Syeikh Muhammad
Sa‘id Babashail untuk mendalami Sunan Abî Dâud, Sunan Al-Tirmîdzî, dan Sunan
Al-Nasâ’î, kepada Sayyid Ahmad
Al-Zawawi untuk mendalam Syarh
‘Uqûd Al-Juman dan sebagian kitab Al-Syifa’ (karya Qadhi
Al-‘Iyadh), kepada Syeikh Muhammad
Al-Syarbini Al-Dimyathi untuk mendalami Syarh Ibn Al-Qashîh,
Syarh Al-Durrah Al-Mudhî’ah, Syarh Thaibah Al-Nasyr fî Al-Qirâ’ât
Al-‘Asyar, Al-Raudh Al-Nadhir, Syarh Al-Ra‘iyyah, Ithaf Al-Basyar
fî Al-Qirâ’ât Al-Arba‘ah Al-‘Asyar, dan Tafsir Al-Baidhawi, dan
kepada Sayyid Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan Al-Madani serta
ulama-ulama terkemuka lainnya. Sedangkan guru utamanya yang paling banyak
mengajarnya pelbagai ilmu adalah Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Muhammad
Al-Syatha, penyusun kitab I‘ânah Al-Thâlibîn.
Karena
cerdas dan tekun, Mahfuzh Al-Tarmisi
akhirnya menjadi salah seorang pengajar
di Masjid Al-Haram, Makkah. Malah, ia dipandang sebagai seorang pakar
hadis tentang Shahîh Al-Bukhârî. Selain itu, ia juga merupakan
isnâd (mata
rantai) yang sah dalam meneruskan
pengajaran Shahîh Al-Bukhârî dan diberi hak memberikan ijazah kepada murid-muridnya (antara lain
K.H. Hasyim Asy‘ari, pendiri Nahdlatul Ulama) yang berhasil menguasai karya itu. Ijazah itu berasal dari Al-Bukhari
sendiri (sekitar seribu tahun yang
silam) dan diserahkan secara beranting melalui 23 generasi. Kala itu, Syeikh
Mahfuzh Al-Tarmisi merupakan mata rantai terakhir.
Ulama yang
berwawasan luas ini berpulang pada Ahad,
1 Rajab 1338 H/21 Maret 1920 M, dengan meninggalkan
sejumlah karya. Antara
lain Al-Siqâyah Al-Mardhiyyah fî
Asâmî Al-Kutub Al-Fiqhiyyah li Ashhâbinâ Al-Syâfi‘iyyah, Muhihbah dzi
Al-Fadhl ‘alâ Syarh Al-‘Allâmah Ibn Hajar, Kifâyah
Al-Mustafîd limâ ‘Alâ min Al-Asânid, Manhâj Dzawî Al-Nazhar fî
Syarh Manzhûmah ‘Ilm Al-Âtsâr, Nail Al-Ma‘mûl, Al-Khil‘ah
Al-Fikriyyah fî Syarh Al-Minhah Al-Khairiyyah, Al-Badr
Al-Munîr fî Qirâ’ah Ibn Katsîr, Tanwîr Al-Shadr fî Qirâ’ah Ibn ‘Amr, Insyirâh
Al-Fawâ’id fî Qirâ’ah Hamzah, Ta‘mîm Al-Manâfi‘ fî Qirâ’ah
Nâfi‘, Al-Fawâ’id Al-Tarmîsiyyah fî Asâmî Al-Qirâ’at Al-‘Asyariyyah, dan
Is‘âf Al-Mathâli‘ Syarh Al-Badr Al-Lâmi‘.
Perjalanan hidup
ulama yang satu itu menyajikan suatu teladan indah: ketika berpulang, ia meninggalkan
sejumlah karya tulis. Mungkin, ketika menyusun karya-karya tulisnya tersebut,
ia ingin meneladani para ulama raksasa sebelum dirinya. Sehingga, lewat
karya-karya tulis tersebut, nama mereka tidak lekang ditelan zaman dan ilmu serta
pengalaman mereka tetap terwariskan dari satu zaman ke lain zaman. Misalnya, Al-Bukhari,
Muslim, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Al-Qurthubi, Ibn Sina, dan lain-lainnya. Kiranya
jejak indah Syeikh Mahfuzh Al-Tarmisi ini diikuti para ulama dan kiai masa kini.
Juga, kita yang bukan ulama dan kiai. Semoga!
No comments:
Post a Comment